Jakarta (ANTARA News) - Croplife Indonesia memperkirakan pangsa pasar pestisida palsu dan ilegal di Tanah Air mencapai Rp400 miliar atau sekitar 10 persen dari total pasar obat-obatan pembasmi hama dan penyakit tanaman tersebut secara nasional.

Direktur Eksekutif Croplife Indonesia Agung Kurniawan di Jakarta, Rabu mengatakan, pada 2010 Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan (MIAP) bahkan mengungkapkan kerugian pemerintah Indonesia dari produk palsu dan ilegal pada 12 sektor industri mencapai Rp37 triliun, yang mana 15 persen dari pestisida yang dijual di Tanah Air adalah palsu dan ilegal.

"Saat ini diperkirakan ada sekitar 4000 lebih jenis pestisida yang terdaftar di Kementerian Pertanian," katanya saat berbicara pada program Kelas Pestisida untuk Media.

Menurut dia, saat ini pelaku pemalsuan pestisida semakin profesional .Selain itu, modusnya juga semakin canggih sehingga produk-produk obat-obatan pembasmi hama dan penyakit tanaman yang asli dengan yang palsu ataupun ilegal sulit dibedakan secara kasat mata.

Agung menyatakan, pihaknya pada 2017 telah melakukan pemetaan terhadap sejumlah wilayah sentra pertanian yang marak peredaran serta produksi pestisida palsu yang mana di Pulau Jawa yang termasuk "zona merah" yakni Kabupaten Subang dan Karawang, Jawa Barat, Kabupaten Brebes Jawa Tengah, Jember dan Probolinggo Jawa Timur.

"Untuk `zona merah` ini tidak hanya sebagai tempat peredaran namun juga produksi pestisida palsu. Peredaran (pestisida palsu) tak hanya di zona merah bahkan sudah di luar daerah itu," katanya.

Jenis-jenis pestisida palsu dan ilegal yang banyak beredar di pasaran, tambahnya, tertinggi untuk tanaman hortikultura, kemudian tanaman perkebunan dan tanaman pangan.

Sementara itu, Kepala Unit V Subdit I Direktorat Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Polri AKBP Sugeng Irianto mengatakan penggunaan pestisida palsu memliki dampak kesehatan terhadap petani serta terhadap lingkungan.

Menurut dia, peredaran pestisida palsu dan ilegal diatur dalam UU no 12 tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, jika terbukti hukuman maksimal lima tahun penjara dan denda maksimal Rp250 juta, kemudian UU no 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dengan hukuman maksimal lima tahun penjara atau dendan sebesar Rp2 miliar.

Selain itu, juga diatur dalam UU no 20 tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis dengan hukuman penjara maksimal 10 tahun dan atau denda maksimal Rp5 miliar.

Menyinggung kasus-kasus pemalsuan ataupun peredaran pestisida palsu dan ilegal yang sudah ditangani kepolisian, Sugeng tidak menyebutkan angka pasti namun demikian setiap tahun sekitar empat-lima kasus serupa masuk ke kepolisian.

Dia mengakui, penanganan kasus peredaran pestisida palsu dan ilegal menunggu laporan masyarakat, sementara itu masyarakat selama ini pasif untuk melaporkan ke aparat jika didapati tindak kejahatan tersebut.

Terkait upaya penanggulangan peredaran pestisida palsu di pasaran, Agung Kurniawan menambahkan, pihaknya terus-menerus memberikan pendidikan dan informasi melalui berbagai kegiatan, baik kepada petani, penyuluh pertanian, pedagang obat-obatan hama termasuk ke media.

"Tujuan kegiatan (Kelas pestisida untuk Media) ini diharapkan media memberikan informasi yang tepat bagi petani mengenai produk pestisida palsu dan ilegal sehingga petani lebih bijak dalam memilih dan penggunakan pestisida," katanya.

Ke depan pihaknya juga akan meningkatkan kerja sama dengan kementerian ataupun lembaga terkait untuk melakukan melakukan kampanye dan edukasi ke masyarakat sehingga peredaran pestisida palsu dan ilegal dapat ditekan.

Pewarta: Subagyo
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2018