Jakarta (ANTARA News) - Mantan Ketua Dewan Pers, Bagir Manan menegaskan, jurnalis harus ikut mengontrol dalam penerapan UU Antiterorisme yang telah disetujui oleh DPR, sehingga tidak disalahgunakan oleh aparat penegak hukum.
     
"Harus dikontrol melalui pemberitaan yang baik karena secara langsung produk dari jurnalis itu juga dikontrol dalam penerapan UU Antiterorisme," kata Bagir saat menjadi pembicara dalam diskusi yang bertajuk "UU Terorisme, Demokrasi, dan Kebebasan Pers" di Gedung Dewan Pers, Jakarta, Kamis.
     
Ia mengatakan, kehadiran media secara tidak langsung juga dapat membantu pihak intelijen atau pihak kepolisian dalam menghadapi terorisme, salah satu dengan tidak membocorkan informasi yang sifatnya rahasia demi sensasional atau eksklusifitas berita. 
     
"Kegiatan intelijen mesti bersifat rahasia dan kalau dalam proses intelijen dimuat surat kabar maka dianggap kriminal. Maka media perlu memperhatikan, apakah informasi yang ada apakah masuk dalam fungsi intelijen atau tidak. Kita harus hati-hati soal ini," ujarnya. 
     
Bagir Manan juga meminta kehati-hatian aparat kepolisian agar tidak masuk dalam mencari sensasional berita. Misalnya,  mengundang media dalam proses penyerbuan, pengejaran atau proses penggeledahan yang sifatnya rahasia. 
     
Ada juga pada proses penyelidikan dan atau penyidikan. Tahap ini adalah tahap kritis di mana petugas mencari unsur pembuktian melalui alat-alat bukti yang ada. 
     
Bila dibocorkan kepada media, maka dikhawatirkan akan berpengaruh terhadap proses pembuktian, kata Bagir. 
     
"Kalau semua yang dilakukan harus diberitakan, ini bisa celaka. Sebab dalam proses itu ada hal yang masih bersifat rahasia. Kalau misalnya pelaku memiliki teman bisa saja dia lari atau menghancurkan alat buktinya. Berbeda kalau sudah tersangka atau terdakwa, saya kira sudah tidak perlu khawatir akan hal itu," ujarnya. 
     
Dalam kesempatan itu, dirinya mendukung keterlibatan TNI dalam menangani terorisme yang telah meresahkan masyarakat Indonesia. Bahkan, keterlibatan TNI bisa dilakukan tanpa harus menunggu perintah, seperti misalnya penyerangan Mabes TNI. 
     
"Langsung berantas saja tanpa perintah itu bisa saja. Masa kasus seperti itu harus menunggu perintah atau Polri dulu baru bergerak," ujarnya seraya menambahkan TNI bisa bergerak langsung ketika ada ancaman kenegaraan.
     
Sementara itu, Staf Khusus Kantor Staf Kepresidenan (KSP), Ifdhal Kasim, menjelaskan, pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme sejatinya telah diatur jelas dalam UU TNI. 
     
"Apalagi dalam hal menjadi keamanan negara," kata mantan Ketua Komnas HAM ini.

Pewarta: Syaiful Hakim
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2018