Jakarta (ANTARA News) - Mantan menteri negara koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri (Menko Ekuin) sebagai Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) Kwik Kian Gie menjelaskan proses penerbitan Inpres No 8 Tahun 2002 di bawah kepemimpinan Presiden Megawati Sukarnoputri saat itu.

"Saya sangat menentang penerbitan SKL dan berhasil menggagalkan dua kali upaya penerbitannya tapi kali yang ketiga saya kalah karena saya langsung menghadapi semua menteri yang menghantam saya sehingga saya tidak berdaya lagi untuk menolaknya," kata Kwik dalam sidang di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis.

Kwik bersaksi untuk terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung selaku ketua badan penyehatan perbankan nasional (BPPN) periode 2002-2004 didakwa bersama-sama dengan ketua KKSK Dorojatun Kuntjoro-Jakti serta pemilik BDNI Sjamsul Nursalim dan Itjih S Nursalim dalam perkara dugaan korupsi penerbitan Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham yang merugikan keuangan negara Rp4,58 triliun.

"Penerbitkan SKL sangat berbahaya dan dapat mengakibatkan persoalan di kemudian hari dan menimbulkan kerugian negara," tambah Kwik.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK I Wayan Riyana lalu membacakan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) No 26 milik Kwik yang menjelaskan proses pembuatan SKL. Kwik saat itu menjabat sebagai Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Negara (Bappenas) periode 2001-2004.

"Jawaban saksi `Saya selaku Ketua Bappenas dan eks officio KKSK mengikuti beberapa kali rapat penerbitan SKL tapi tidak spesifik obligor tertentu," kata jaksa Wayan.

Pertemuan itu pertama dilakukan di rumah Presiden kelima Megawati Soekarnoputri di Jalan Teuku Umar yang dihadir saat itu Menko Ekui Dorodjatun Kuntjoro-Djakti, Menteri Keuangan (Menkeu) Boediono, Menteri Negara BUMN Laksamana Sukardi, Jaksa Agung MA Rahman dan Kepala Bappenas Kwik Kian Gie membahas SKL obliogor kooperatif.

Hasil keputusannya ada penerbitan SKL untuk obligor yang kooperatif. Tapi Kwik menolak karena berpendirian obligor yang mendapat SKL bila uang yang terutang ke negara benar-benar masuk ke kas negara. Kwik beralasan rapat itu tidak sah karena tidak ada undangan tertulis, tidak dilaksanakan di Istana Negara sehingga Megawati membatalkan rapat itu.

Rapat kedua dilakukan di Istana Negara yang dihadiri oleh Menko Ekui Dorodjatun Kuntjoro-Djakti, Menteri Keuangan (Menkeu) Boediono, Menteri Negara BUMN Laksamana Sukardi, Jaksa Agung MA Rahman dan Kepala Bappenas Kwik Kian Gie membahas pemberian SKL untuk obligor BLBI. Kwik juga kembali tidak setuju dengan kemudian Megawati Sukarnoputri selaku Presiden menutup rapat dengan tidak mengambil keputusan.

Pertemuan ketiga dilakukan di Istana Negara yang dihadiri Menko Ekui Dorodjatun Kuntjoro-Djakti, Menteri Keuangan (Menkeu) Boediono, Menteri Negara BUMN Laksamana Sukardi, Jaksa Agung MA Rahman dan Kepala Bappenas Kwik Kian Gie serta Menteri Kehakiman Yusril Ihza Mahendra.

Kwik tetap tidak setuju penerbitan SKL BLBI namun akhirnya Megawati tetap memutuskan untuk menerbitkan SKL kepada obligor yang kooperatif.

"Dalam rapat sidang kabinet terakhir saya tidak banyak protes karena saya `tidak berdaya` dengan pembicaraan para menteri yang langsung saja bicara bertubi-tubi. Saya `tidak berdaya` karena tim presiden Megawati menutup rapat dengan mengatakan ya dan seingat saya Presiden Megawati menugaskan bapak Yusril sebagai Menteri Kehakiman untuk menyusunnya," jelas Kwik.

Yusril saat ini adalah pengacara Syafruddin Arsyad Temenggung.

BDNI adalah salah satu bank yang dinyatakan tidak sehat dan harus ditutup saat krisis moneter pada 1998.

Berdasarkan perhitungan BPPN, BDNI per 21 Agustus 1998 memiliki utang (kewajiban) sebesar Rp47,258 triliun. Sedangkan aset yang dimiliki BDNI adalah sebesar Rp18,85 triliun termasuk di dalamnya piutang Rp4,8 triliun kepada petani tambak yang dijamin oleh PT Dipasena Citra Darmadja (DCD) dan PT Wachyuni Mandira (WM) milik Syamsul Nursalim.

Belakangan diketahui bahwa piutang Rp4,8 triliun itu macet sehingga Sjamsul Nursalim sebagai pemilik perusahaan penjamin yaitu DCD dan WM harus menyerahkan "personal guarantee" kepada BPPN tapi hal itu tidak pernah diberikan Sjamsul.

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2018