Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah Indonesia dan Arab Saudi Arabia sepakat bekerja sama menguji coba secara terbatas penerapan Sistem Penempatan Satu Kanal (SPSK) pekerja migran Indonesia. 

Menteri Ketenagakerjaan RI M Hanif Dhakiri dan Menteri Tenaga Kerja dan Pembangunan Sosial Kerajaan Arab Saudi Ahmed bin Suleiman bin Abdulaziz al Rajhi pada Kamis menandatangani kerja sama itu di kantor Kementerian Ketenagakerjaan RI di Jakarta.

Siaran pers Kementerian Ketenagakerjaan menyebutkan kerja sama ditujukan untuk membenahi tata kelola penempatan Pekerja Migran Indonesia (PMI), serta perlindungan dan peningkatan kesejahteraan mereka. 

"Bagi Pemerintah Indonesia, kerja sama bilateral ini bukanlah hal yang mudah. Hal ini karena banyak kasus yang menimpa pekerja migran Indonesia di Arab Saudi, seperti pelecehan, kekerasan, pelecehan seksual, gaji yang tidak dibayar, eksploitasi, ancaman hukuman mati yang mempengaruhi persepsi publik," kata Hanif.

"Kami optimis, dengan berbagai perbaikan yang terintegrasi melalui satu sistem yang disepakati kedua negara menjadikan penempaan dan perlindungan pekerja migran Indonesia berjalan jauh lebih baik," kata dia.

Kerja sama penerapan sistem satu penempatan pekerja migran itu sifatnya masih uji coba secara terbatas, hanya pada sejumlah tertentu pekerja migran Indonesia, di lokasi tertentu (Jeddah, Madinah, Riyadh, dan wilayah timur seperti Damam, Qobar, Dahran), serta untuk pekerjaan tertentu (penjaga anak, juru masak keluarga, penjaga orang lanjut usia, sopir keluarga, asisten rumah tangga). Evaluasi setiap tiga bulan akan dilakukan selama uji coba.

"Kerja sama ini dalam kerangka melindungi hak pekerja migran dan mengatur hubungan kerja antara majikan dan pekerja migran sesuai dengan hukum dan peraturan di kedua negara dan konvensi internasional," kata Menteri Tenaga Kerja dan Pembangunan Sosial Kerajaan Arab Saudi Ahmed bin Suleiman bin Abdulaziz al Rajhi.

Setidaknya, ada 21 hal penting pada Sistem Penempatan Satu Kanal yang dalam kerja sama sebelumnya tidak diatur, dan menjadi titik lemah dalam perlindungan pekerja migran. 

Sistem yang baru mencakup proses rekrutmen dan penempatan PMI melalui sistem daring terintegrasi yang memungkinkan kedua pemerintah melakukan pengawasan, pemantauan dan evaluasi. 

PMI tak lagi bekerja dengan sistem kafalah (majikan perseorangan), melainkan sistem syarikah (perusahaan yang ditunjuk dan bertanggungjawab kepada pemerintah Arab Saudi).  Sistem ini mempermudah PMI dan pemerintah Indonesia melakukan perlindungan.

Perjanjian kerja juga mengacu pada kontrak kerja yang telah ditetapkan berdasarkan prinsip kerja yang layak. 

Gaji dibayarkan melalui perbankan, sehingga pembayaran gaji dapat diawasi dan keterlambatan pembayaran dapat segera terdeteksi.

Kedua negara sepakat membentuk Komite Bersama yang bertugas mengawasi/mengevaluasi implementasi proses rekrutmen dan penempatan PMI di lapangan, termasuk menyediakan layanan telepon khusus dengan Bahasa Indonesia dan memberikan akses PMI berkomunikasi dengan keluarga.

Hanif menjelaskan SPSK tidak berarti mencabut Peraturan Menteri No 260 Tahun 2015 tentang Penghentian dan Pelarangan Penempatan TKI pada Pengguna Perseorangan ke kawasan Timur Tengah. 

Sebaliknya, SPSK ditujukan untuk memastikan tidak ada pelanggaran dalam pelaksanaan kebijakan penghentian dan pelarangan PMI ke Timur Tengah. 

"Pengiriman PMI juga berdasarkan jabatan dan keahlian tertentu. Bukan sebagai pembantu rumah tangga yang mengerjakan semua pekerjaan domestik," ujarnya. 

Baca juga:
KJRI paksa majikan bayar Rp2 miliar gaji lima pekerja Indonesia di Saudi
Indonesia-Brunei kerja sama penempatan pekerja migran


 

Pewarta: Aubrey Kandelila Fanani
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2018