Jakarta (ANTARA News) - Satu tahun belakangan Jakarta digemparkan dengan keberadaan sejumlah buaya yang hidup di sejumlah aliran sungai di tengah ibukota.
   
Kabar ini tentu menjadi pertanyaan besar dan mengagetkan masyarakat karena adanya buaya di Jakarta bukan hal lazim mengingat kondisi lingkungan yang tidak memungkinkan.
   
Reptil yang jejak evolusinya telah berusia jutaan tahun ini umumnya hidup di kawasan perairan, baik tawar dan laut, yang masih alami dan tidak terdampak pencemaran lingkungan.
   
Namun siapa sangka ternyata hewan karnivora yang pernah dilaporkan menyerang atau memangsa manusia di dalam dan luar negeri ini juga bisa hidup di sungai-sungai Jakarta yang keruh, kotor, dan dicemari berbagai jenis limbah.
   
Setelah sebelumnya muncul buaya di kawasan Grogol Jakarta Barat yang kemudian berhasil ditangkap, kini muncul juga beberapa ekor buaya di aliran anak Sungai Ciliwung yang berada di depan pusat perbelanjaan Mangga Dua Square, Jalan Gunung Sahari Jakarta Utara.
   
Sampai saat ini diketahui ada tiga ekor buaya yang bersarang di bawah jembatan yang menghubungkan Mangga Dua Square dan Jalan Gunung Sahari.
   
Menurut Parta, warga Pademangan yang sering memancing di sekitar jembatan tersebut, mengaku hampir setiap hari melihat buaya-buaya tersebut berenang di sekitar jembatan atau memunculkan kepalanya ke permukaan.
   
Menurut pria yang bekerja serabutan ini, buaya tersebut selalu muncul saat subuh saat situasi jalan masih sepi dari aktivitas manusia.
   
Saat ia baru datang ke lokasi dan menaruh sepedanya di trotoar jalan menjadi momen saat Parta kerap melihat buaya tersebut, namun buaya itu langsung pergi saat Parta melempar kail ke sungai.
   
Namun terkadang buaya-buaya tersebut juga naik ke gundukan tanah yang ada di pinggir sungai pada pagi hari saat matahari baru naik, katanya.
   
Hal itu dilakukan mengingat buaya merupakan satwa berdarah dingin yang harus menghangatkan suhu tubuhnya secara manual dengan cara berjemur di bawah sinar matahari.
   
Selain itu, Parta mengaku sudah mengetahui keberadaan buaya di bawah jembatan Mangga Dua Square jauh sebelum warga Jakarta diramaikan dengan informasi buaya liar yang ada di Grogol.
   
"Saya sudah lama bilang ada buaya juga di sini, tapi tidak ada yang percaya karena tidak ada yang melihat selain saya. Foto juga tidak punya, handphone saya (model) lawas, tidak ada kameranya," tutur Parta saat ditemui Antara di lokasi.
   
Parta juga tahu betul ada lubang di bawah jembatan yang diduga menjadi sarang buaya-buaya tersebut.
   
Oleh karenanya untuk saat ini ia tidak berani memancing hingga ke bawah jembatan untuk menghindari serangan buaya.


Petugas Khawatir
   
Kekhawatiran tidak hanya dirasakan Parta, namun juga petugas kebersihan dari UPK Badan Air Suku Dinas Lingkungan Hidup Jakarta Utara yang setiap hari bertugas membersihkan aliran anak sungai Ciliwung di Gunung Sahari.
   
Sapar, salah seorang pertugas kebersihan, merasa rutinitas pekerjaannya menjadi terganggu sejak muncul buaya di lokasi kerjanya.
   
Rasa khawatir akan diserang oleh buaya kerap menghantui Sapar dan kedua rekannya yang lain saat membersihkan aliran sungai, terlebih saat diketahui buaya-buaya yang diduga terdiri dari dua spesies itu bersarang di bawah jembatan.
   
Padahal kolong jembatan merupakan titik yang didapati ada sampah yang tersangkut sehingga mengharuskan petugas untuk masuk menggunakan rakit sederhana yang terbuat dari rangkaian kotak plastik berukuran sekitar 2,5x3 meter.
   
Meski dilanda rasa takut, namun Sapar tetap menjalankan tugasnya dengan hati-hati dan selalu berdoa agar diberi keselamatan selama menjalankan tugas.
   
"Kami berdoa saja minta keselamatan ke Allah. Kalau tidak dikerjakan (pembersihan) kami yang salah, kalau dikerjakan ada rasa takut. Namanya tugas ya mau gimana lagi, yang penting kami sudah berdoa, istri dan keluarga di rumah juga sudah mendoakan," pungkas Sapar.
   
Hal senada juga disampaikan Irpan, rekan Sapar yang juga bertugas membersihkan aliran anak sungai Ciliwung tersebut.
   
Menurut Irpan, ia mengetahui keberadaan buaya-buaya tersebut sekitar tiga bulan lalu dan hampir setiap hari mendapati buaya berjenis buaya muara atau Poros dan buaya Senyulong tersebut naik ke permukaan untuk berjemur di pinggir sungai.
   
Saat pertama melihat buaya-buaya itu Irpan tentu sangat kaget karena tidak menyangka ada buaya di sungai yang airnya berwarna hitam itu.
   
Namun sekarang ia mengaku sudah mulai terbiasa, sembari mengamati perkembangan buaya yang awalnya hanya berukuran sekitar setengah meter kini sudah sebesar paha manusia dewasa hanya dalam jangka waktu tiga bulan.
   
Ia pun berharap agar petugas terkait dapat segera menangkap buaya tersebut sehingga pekerjaannya untuk menjaga kebersihan sungai tidak terganggu oleh keberadaan binatang buas tersebut.


Gagal Ditangkap
   
Sebelumnya, jajaran Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) DKI Jakarta sudah mengupayakan penangkapan terhadap buaya-buaya tersebut.
   
Jaring dan umpan sudah dipasang selama empat hari namun tidak membuahkan hasil yang diharapkan hingga akhirnya jaring tersebut diangkat lagi oleh polisi hutan pada hari Kamis.
   
Menurut Sapar, selama empat hari pemasangan perangkap itu buaya-buaya tersebut sama sekali tidak memperlihatkan diri sehingga muncul dugaan bahwa buaya tersebut telah pergi ke area lain.
   
Namun kemarin, Jumat pagi (12/10), Parta dan Irpan kembali melihat buaya tersebut muncul ke permukaan air dan salah satunya bahkan naik ke gundukan tanah untuk berjemur.
   
Terkait kegagalan penangkapan tersebut, Wahyudi, seorang pecinta reptil yang kebetulan berada di lokasi karena penasaran tentang kabar adanya buaya pun ikut berkomentar.
   
Menurut Wahyudi, ada teknik khusus untuk menangkap buaya sebagaimana pengalamannya dulu sewaktu masih aktif berburu binatang tersebut.
   
Caranya ialah dengan membentangkan jaring di area yang diduga ada buayanya, kemudian kedua ujung jaring tersebut ditarik sejajar di sisi sungai sehingga di tengahnya membentuk huruf "U".
   
Lalu ditengah titik "U" masukan umpan berupa 5-6 telur ayam yang sudah dilubangi dengan jarum atau paku kecil sehingga cairannya keluar.
   
Umpan telur ia klaim lebih disukai buaya ketimbang ayam seperti yang dilakukan oleh BKSDA sebelumnya.
   
"Buaya itu suka yang bau amis, telur itu pasti disambar sama buaya. Kalau ayam belum tentu, apalagi dikasih bangkai ya tidak akan mempan. Ayam hidup boleh saja, tapi harus dilukai sedikit biar keluar darahnya. Itu buaya masih mau," tutur Wahyudi menerangkan.
   
Selanjutnya, ketika telur terlihat ada yang menyambar, maka petugas langsung menarik kedua ujung jaring berlawanan arah agar menjerat buaya yang sudah ada di dalam titik "U".
   
Meski begitu, ia pun mengingatkan agar saat melaksanakan metode tersebut tidak dalam situasi ramai karena buaya sangat sensitif dengan keramaian.
   
Terkait dengan keberadaan buaya di anak sungai Ciliwung ini, pria berambut gondrong asal Kabupaten Kebumen (Jawa Tengah) ini menduga ada yang berasal dari muara dan ada yang sengaja dilepas atau dibuang.
   
Ada dua spesies buaya yang berada di lokasi tersebut, yaitu buaya muara (Crocodylus porosus) dan buaya Senyulong (Tomistoma schlegelii).
   
Menurut pria yang dulu gemar berburu buaya di Sungai Luk Ulo Kebumen ini, buaya muara bisa saja dibuang oleh seseorang atau kemungkinan masuk dari area Teluk Jakarta yang masih ditumbuhi bakau.
   
Namun untuk Senyulong, ia yakin betul bahwa buaya tersebut pasti dibuang oleh seseorang karena habitat buaya yang bermoncong runcing dan panjang itu bukan di Pulau Jawa.
   
"Itu tidak mungkin kalau tidak ada yang buang, Senyulong itu habitatnya di Kalimantan atau Sulawesi. Senyulong bukan berasal dari Pulau Jawa, dan termasuk buaya langka," katanya menegaskan.
   
Ia pun meminta agar petugas kebersihan atau warga untuk berhati-hati karena diduga buaya-buaya tersebut masih muda, sebagaimana identifikasi berdasarkan laporan tentang ukuran buaya tersebut.
   
"Buaya muda lebih agresif dan bahaya. Giginya lebih tajam dibanding buaya tua. Kalau yang tua giginya banyak yang sudah tanggal dan agak tumpul, sementara buaya muda giginya kan baru dan tajam," pungkas Wahyudi.
 

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2018