Jakarta (ANTARA News) - Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Riyadi Sunindyo Florentinus menyatakan untuk melanjutkan sidang praperadilan gubernur non-aktif Aceh Irwandi Yusuf, Senin pekan depan (22/10) dengan agenda pembacaan kesimpulan dari pihak termohon dan pemohon.

Kesimpulan dari pihak Irwandi Yusuf sebagai pemohon akan dibacakan oleh kuasa hukumnya Santrawan T Paparang dan Haposan P Batubara, sementara dari pihak termohon, catatan tersebut akan dibacakan oleh perwakilan dari Biro Hukum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). 

"Sidang agenda pembacaan kesimpulan akan dilanjutkan Senin, tanggal 22 Oktober, dan dengan ini sidang saya nyatakan ditutup," kata Riyadi menutup sidang dengan agenda mendengar keterangan ahli dari KPK di PN Jakarta Selatan, Jumat. 

Irwandi mengajukan gugatan praperadilan ke PN Jakarta Selatan mengenai penangkapannya di Pendopo Gubernur oleh KPK pada 3 Juli dan penetapannya sebagai tersangka pada 4 Juli. 

Sidang praperadilan Irwandi telah dibuka sejak 9 Oktober, tetapi pihak KPK meminta penundaan hingga satu pekan. Alhasil, sidang perdana praperadilan mengenai penangkapan dan penetapan tersangka gubernur non-aktif Aceh itu baru berlangsung pada 17 Oktober. 

Dalam sidang praperadilan tersebut, KPK telah melampirkan 40 lampiran bukti dan menghadirkan satu saksi ahli, sementara pihak Irwandi melalui penasihat hukum telah memperlihatkan 32 lampiran alat bukti, empat saksi fakta, dan satu saksi ahli. 

Menurut kuasa hukum Irwandi, Paparang, sidang praperadilan merupakan bentuk pengawasan terhadap seluruh tindakan aparat penegakan hukum terhadap masyarakat, khususnya dalam menentukan keabsahan proses penyidikan, penyelidikan, penangkapan, penahanan, dan penetapan tersangka seorang terduga tindak pidana. 
 
Kuasa Hukum Irwandi Yusuf untuk sidang praperadilan atas penangkapan dan penetapannya sebagai tersangka oleh KPK, Santrawan T Paparang (batik hitam) dan Haposan P Batubara saat ditemui di PN Jakarta Selatan, Kamis (18/10). (ANTARA News/Genta Tenri Mawangi)


"Dalam praperadilan ini tuntutan kami jelas, proses penangkapan terhadap klien kami (Irwandi Yusuf) tidak sah, sehingga kami meminta majelis hakim memeriksa dan memerintahkan penghentian proses penyelidikan perkara," kata Paparang saat ditemui di PN Jakarta Selatan, Jumat. 

Paparang meyakini bahwa Irwandi tidak pernah menerima uang baik secara langsung, ataupun melalui transfer rekening. Alasan Irwandi tidak melawan saat ditangkap KPK, Paparang menjelaskan, gubernur non-aktif itu ingin menunjukkan itikad baiknya mengikuti proses penyelidikan terhadap dugaan rasuah yang ditujukan ke dirinya. 

"Sewaktu di OTT (Operasi Tangkap Tangan), beliau (Irwandi Yusuf) baru mendarat dari Sabang dengan heli, saat baru tiba di Pendopo Gubernur Aceh, dia langsung diambil (oleh KPK), prosesnya tidak lama 5-10 menit saja," terang Paparang. 

KPK menetapkan Irwandi Yusuf sebagai tersangka dugaan suap pengalokasian dan penyaluran Dana Otonomi Khusus Aceh (DOKA) tahun anggaran 2018, bersama tiga orang lainnya, yaitu Bupati Bener Meriah Ahmadi, serta Hendri Yuzal dan Syaiful Bahri. Komisi anti-rasuah itu menduga Irwandi menerima Rp500 juta dari Rp1,5 miliar uang bagian Ahmadi. Dana ratusan juta itu diduga telah dipakai untuk mendanai pembuatan medali dan seragam festival olahraga lari Aceh Marathon 2018. 

Alhasil, Irwandi pun diduga telah melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Saat ini, KPK masih menyelidiki saksi-saksi, diantaranya istri siri Irwandi yang juga berprofesi sebagai model, Fenny Steffy Burase. Ia tiba di kantor lembaga anti-rasuah itu sekitar pukul 11.00 WIB, Jumat.

Baca juga: Model Steffy Burase penuhi panggilan KPK
Baca juga: Ahli KPK: Tangkap tangan pelaku rasuah tidak butuh perintah
Baca juga: Saksi: Gubernur Aceh pergi ke Turki bersama Stefy


 

Pewarta: Genta Tenri Mawangi
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2018