Jakarta (ANTARA News) - Bahkan ilmuwan terpintar atau teknologi tercanggih di jagat raya ini belum ada yang mampu memastikan jam berapa, hari apa, dan di mana gempa akan terjadi, juga seberapa kuat guncangannya.

Apa yang dilakukan para ilmuwan dan ahli sejauh ini hanya mempelajari jejak-jejak kegempaan dan tsunami dengan mengumpulkan sebanyak mungkin informasi mengenai kapan dan di mana gempa pernah terjadi, bagaimana dampaknya terhadap bangunan, apa pengaruhnya pada lempeng bumi, apakah gempa dapat memicu tsunami, dan bagaimana menghindari atau meredam akibatnya.

Dari informasi-informasi tersebut para ahli mempelajari di mana saja energi yang sudah dan belum terlepas di sepanjang lempeng dan sesar, serta menyampaikan anjuran untuk meningkatkan kewaspadaan bagi mereka yang tinggal di lokasi di mana lempeng atau sesar aktif energinya belum terlepas.

Kepala Bidang Informasi Dini Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Daryono mengatakan bahwa wilayah Indonesia memang aktif dan kompleks dalam hal gempa.

Menurut data sumber gempa berdasarkan lempeng saja ada enam zona seduksi atau guncangan lempeng dari Sabang hingga Merauke. Itu masih dirinci lagi menjadi segmen-segmen megathrust yang jumlahnya ada 16. Sementara jumlah sesar aktif, Daryono menjelaskan, berdasarkan revisi peta gempa terindentifikasi 295 sesar aktif di Indonesia.

Persoalannya adalah terkadang para ahli atau ilmuwan belum memiliki data dan informasi sejarah kegempaan lengkap di setiap lempeng dan sesar yang ada di Indonesia, dan butuh waktu dan biaya riset tidak sedikit untuk mengungkap kondisi sesar-sesar di Indonesia.

Dengan kondisi yang demikian, masyarakat yang memang hidup di Lingkar Api Pasifik (daerah yang sering mengalami gempa bumi dan letusan gunung berapi yang mengelilingi cekungan Samudra Pasifik) seperti Indonesia mau tidak mau harus memiliki sikap dan budaya sadar bencana.


Menghadang tsunami

Tsunami biasanya datang setelah gempa besar yang berpusat di laut, yang bersumber dari pergeseran vertikal lempeng maupun sesar. Bencana ini kadang datang dengan cara tidak biasa, seperti yang baru saja menerjang pesisir Donggala hingga Palu, Sulawesi Tengah.

Sesar Palu-Koro yang selama ini diketahui para ahli kebumian merupakan sesar horizontal pada 28 September 2018 pukul 17.02 WIB menimbulkan tsunami dengan ketinggian 0,5 hingga lebih dari tiga meter.

Sejumlah ahli, termasuk profesor geologi Amerika Serikat dari Saint Louis University John Encarnacion, bertanya-tanya soal tsunami yang muncul di Teluk Palu setelah pergeseran horizontal Sesar Palu-Koro.

Ia menduga permukaan dasar laut yang menjadi lokasi sesar horizontal tersebut tidak rata sehingga bisa memicu tsunami. Kemungkinan lainnya, terjadi longsoran tebing bawah laut yang dipicu oleh gempa sebelumnya.

Apapun pemicunya, tsunami di Donggala dan Palu telah mengingatkan kembali masyarakat Indonesia dan dunia mengenai kedahsyatan dampak bencana ini.

Tidak ada yang bisa mengelak dari kehendak Tuhan. Namun manusia diajarkan untuk berikhtiar, termasuk melakukan mitigasi bencana guna meminimalkan dampak bencana.

Peneliti Geofisika Kelautan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Nugroho Dwi Hananto mengatakan mangrove dengan akar tunjangnya yang tumbuh rapat dan melebar akan bekerja seperti jaring untuk menghadang gelombang laut seperti tsunami.

Seperti baskom berisi air lalu dimasuki spons, maka akan ada bagian air yang bergolak namun ada pula yang tenang karena terhalang oleh spons tadi, kata Nugroho.

Pesisir yang ditumbuhi mangrove rapat akan membuat air yang ada di sisi daratan lebin tenang.

"Sekarang kita perlu lihat apakah pantai-pantai kita masih ada mangrovenya atau tidak. Kalau ada kita perlu pelihara, kalau tidak ada tapi (daerahnya) potensial ditanami mangrove maka tanami lah," ujar dia.

Nugroho mengatakan selain bisa meredam tsunami, bakau membawa manfaat lain bagi lingkungan seperti menyerap karbon dan menjadi tempat tumbuh ikan-ikan dan satwa laut lain.

Mangrove, ia menjelaskan, tumbuh di pantai yang tidak curam karena di sana tumbuhan ini tidak terhantam ombak.

"Bisa saja kita tegakkan dengan bambu, tapi memang tidak semua pantai bisa kita kasih mangrove. Jadi perlu dilihat cocok atau tidak," kata Nugroho.

Pantai-pantai di Teluk Palu, menurut Nugroho, jarang ditumbuhi mangrove mengingat daerah itu merupakan perairan dalam. Bakau cenderung sulit berkembang di teluk dalam yang hanya punya sedikit pantai dan gelombangnya besar.

Di area tempat bakau susah berkembang, mitigasi bencana bisa dilakukan dengan membangun tembok penahan tsunami, seperti yang dilakukan Kota Iwanuma di Prefektur Sendai, Jepang.

Program Dinding Hutan Raya yang berjalan sejak 2012 menjadi cara untuk menghadang tsunami dengan pohon, selain mengkombinasikannya dengan teknologi tembok penahan tsunami.

Gempa dan tsunami 3/11 yang merenggut 15.000 nyawa lebih di Jepang menjadi pelajaran bagi semua negara. Dari sana program Dinding Hutan Raya yang rencananya dibuat sepanjang 300 kilometer muncul.

Dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia dan banyak wilayah yang rawan bencana, sudah saatnya Indonesia menjalankan ikhtiar sebagaimana yang dilakukan Jepang untuk meredam bencana, setidaknya dengan menebalkan tegakan hutan mangrove di daerah-daerah pesisirnya.

Baca juga:
Saran Bank Dunia untuk mitigasi bencana Indonesia
LIPI: masyarakat perlu disadarkan soal mitigasi bencana

 

Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2018