gelar diharapkan dapat menumbuhkan semangat kepahlawanan, kepatriotan, dan kejuangan
Jakarta  (ANTARA News) - Presiden Joko Widodo kembali menganugerahkan Gelar Pahlawan Nasional kepada enam tokoh melalui Keputusan Presiden Nomor 123/TK/Tahun 2018 pada 6 November 2018.  

Penganugerahan gelar Pahlawan Nasional tersebut merupakan bagian dari peringatan Hari Pahlawan pada 10 November.

Keenam tokoh tersebut adalah Almarhumah Agung Hajjah Andi Depu dari Provinsi Sulawesi Barat, Almarhum Abdurrahman Baswedan dari Provinsi D.I. Yogyakarta, Almarhum Depati Amir dari Provinsi Bangka Belitung, Almarhum Mr. Kasman Singodimedjo dari Provinsi Jawa Tengah, Almarhum Ir. H. Pangeran Mohammad Noor dari Provinsi Kalimantan Selatan, dan Almarhum Brigjen K.H. Syam’un dari Provinsi Banten. 

Menteri Sosial RI Agus Gumiwang Kartasasmita mengungkapkan penghargaan tersebut diberikan atas pengabdian dan jasa-jasanya yang luar biasa kepada Negara dan Bangsa Indonesia sesuai dengan bidang perjuangannya.

Mereka juga dinyatakan memenuhi syarat umum dan syarat khusus sesuai peraturan yang berlaku. 

Gelar Pahlawan Nasional adalah gelar yang diberikan kepada Warga Negara Indonesia yang berjuang melawan penjajahan di wilayah yang sekarang menjadi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang gugur  demi membela bangsa dan Negara.

Gelar pahlawan juga diberikan bagi mereka yang semasa hidupnya melakukan tindakan kepahlawanan, menghasilkan prestasi dan karya yang luar biasa bagi pembangunan dan kemajuan bangsa dan Negara Republik Indonesia. 

Pemberian gelar diharapkan dapat menumbuhkan dan mengembangkan semangat kepahlawanan, kepatriotan, dan kejuangan setiap orang untuk kemajuan dan kejayaan bangsa dan Negara; menumbuh kembangkan sikap keteladanan dan mendorong semangat melahirkan karya terbaik bagi kemajuan bangsa dan Negara.

Memimpin Gerakan Pemuda

Salah seorang tokoh yang mendapat anugerah gelar pahlawan tersebut adalah seorang perempuan bernama Agung Hajjah Andi Depu, Permaisuri Arajang, yang lahir di Tinambung Polewali Mandar, Sulawesi Barat, 19 Agustus 1908.

 Andi Depu adalah pelaku sejarah yang telah memberikan dedikasi serta loyalitas yang tinggi dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, yaitu dengan mengerahkan dan mengoordinasikan semangat spontanitas para pemuda pemudi untuk melawan penjajahan.

Ia aktif di Jong Islamiten Bond (JIB) atau juga disebut Perhimpunan Pemuda Islam, sebuah organisasi perhimpunan pemuda dan pelajar Islam Hindia Belanda yang didirikan di Batavia pada 1 Januari 1925.

Ia juga memimpin gerakan pemuda Kris Muda Mandar, Gabungan Pemberontak RI (Gapri), dan Laskar Pemberontak Rakyat Sulawesi (Lapris) sebagai wadah perjuangan kemerdekaan dan menyebarluaskan berita proklamasi kemerdekaan ke seluruh wilyah Mandar.

Selain itu, ia juga menjadi tokoh yang mengenalkan bendera nasional merah putih di wilayah Mandar pada 1942. Perjuangannya melawan penjajah tidak hanya melalui gerakan pemuda, tapi juga turut bergerilya di Timbu Sulawesi Barat.

Perjuangannya tidak berhenti sampai disitu,  Andi Depu turut aksi paada demonstrasi pembubaran Negara Indonesia Timur (NIT) pada 1950. Ia meninggal pada 18 Juni 1985 di Makassar dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Pemakaman Panaikan Makassar.

Tokoh nasional lainnya adalah Abdurrahman Baswedan yang lahir di Surabaya pada 9 September 1908. Ia dianugerahi gelar Pahlawan Nasional karena kontribusinya dalam pergerakan mewujudkan bangsa Indonesia yang merdeka dan berdaulat. 

Perjuangannya dilakukan melalui dunia jurnalistik, yaitu dengan tulisan-tulisannya di berbagai surat kabar, dalam dunia kepartaian melalui PAI (Partai Arab Indonesia), dan juga di dalam BPUPKI  (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia).

Setelah keluar dari dunia politik di tahun 1960, Abdurrahman Baswedan mengalihkan perjuangannya ke dalam dunia pendidikan, dakwah, dan budaya.

Tokoh yang pernah menjabat Duta Besar Indonesia untuk Liga Arab dan menjadi anggota diplomasi RI ke negara-negara Arab itu juga berjasa  karena berkatnya Indonesia memperoleh pengakuan kedaulatan dari pemerintah Mesir.

Abdurrahman Baswedan meninggal di Jakarta pada 16 Maret 1986 dan dimakamkan di TPU Tanah Kusir, Jakarta Selatan. 

Pemersatu Bangsa

Tokoh lainnya, Kasman Singodimedjo, seorang Polisi Pamong Praja di Lampung Tengah, merupakan pemersatu bangsa yang terlibat dalam proses pengesahan Undang-undang Dasar (UUD) 1945.

Tokoh yang lahir di Poerworedjo, Jawa Tengah, 25 Februari 1904 itu adalah ketua Komite Nasional Indonesia Pusat  /KNIP (parlemen) pertama, Jaksa Agung kedua yang memelopori pembenahan organisasi Kejaksaan Agung, pemimpin Badan Keamanan Rakyat (BKR), dan selanjutnya memelopori pembentukan Tentara Keamanan Rakyat sebagai cikal-bakal TNI.

Tokoh yang pada 1938  membentuk Partai Islam Indonesia di Surakarta itu juga dipercaya oleh Soekarno dan Muhammad Hatta untuk mengusulkan penghapusan tujuh kata terkait syariat Islam dalam Piagam Jakarta.

Kasman Singodimedjo merupakan orang yang kritis tidak hanya pada masa Sukarno juga pada masa Suharto. Beliau akan kritis saat negara ini salah urus, sebagai salah satu founding father bangsa ini ia sangat terpanggil untuk meluruskannya, siapapun pemimpinnya. 

Tokoh Muhammdiyah yang menjadi pionir banyak lembaga baru republik ini saat baru berdiri itu meninggal di Jakarta 25 Oktober 1982 dan dimakamkan di Pemakaman Umum Tanah Kusir.

Tokoh lainnya adalah Depati Amir, yang memimpin perjuangan melawan penjajahan di Tambang Timah di Bangka.

Depati Amir yang namanya telah ditabalkan menjadi nama bandara di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung di  Pangkal Pinang lahir di Mendara, Pulau Bangka pada 1805.

Masa perlawanan Depati Amir antara 1830-1851  berhasil menyertakan gabungan warga lokal dan komunitas asing-pendatang  (penambang Tionghoa).

Perlawanan Depati Amir dibantu adiknya bernama Cing atau Hamzah sebagai panglima perang berpusat di Kampung Tjengal. Pada Desember 1848, ia memimpin perlawanan di beberapa tempat seperti Lukok, Cepurak, Mendar, Memadai, Ampang dan Tdjaubelah.

Walau taktik perang gerilya tidak cukup menimbulkan perlawanan yang masif, menyeluruh, dan berakibat kepada masalah logistik yang melemahkan barisan Depati Amir, tetapi kualitas perlawanan Depati Amir dan efek yang ditimbulkannya menyebabkan konflik internal dalam birokrasi pemerintahan kolonial Hindia-Belanda.

Konflik antara pihak militer dan birokrasi sipil juga turut membantu keberlangsungan perlawanan Depati Amir cukup lama, lebih dari 20 tahun. 

Pada 7 Januari 1851, dalam kondisi sakit Depati Amir tertangkap di distrik Sungaiselan lalu ia diasingkan ke Kupang bersama keluarga dan sejumlah pimpinan barisan yang setia kepadanya hingga ia menghembuskan napas terakhirnya pada 28 September 1869 dan dimakamkan Pemakaman Muslim Batukadera, Pemakaman Kupang.

Pertahankan Kemerdekaan

Ir. H. Pangeran Mohamad Noor telah berjuang bersama-sama rakyat Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan. Perjuangan itu telah dimulai sejak ia masih kuliah di THS Bandung. 

Ia ikut terlibat menjadi anggota Jong Islamieten Bond. Sebuah organisasi kepemudaan yang ikut berjuang menyatukan gerakan pemuda yang masih berbeda-beda visinya menjadi satu visi, yaitu Indonesia merdeka.

Dalam rangka mempertahankan kemerdekaan, sebagai Gubernur Kalimantan yang berkedudukan di Yogyakarta, ia melakukan pelatihan militer kepada para pemuda Kalimantan untuk kemudian diterjunkan ke medan perang menghadapi Belanda di Kalimantan.

Setelah menjadi gubernur, Pangeran Mohammad Noor melakukan pekerjaan yang banyak membawa kemajuan pembangunan di Kalimantan secara keseluruhan dan khususnya Kalimantan Selatan.  Terakhir ia menjabat Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga.

Tokoh yang lahir di Martapura, 24 Juni 1901 wafat di Jakarta, 15 Januari 1979 dan dimakamkan di Komplek makam Sultan Adam, Martapura, Banjar, Kalsel.

Tokoh terakhir adalah Brigjen K.H. Syam’un (Samioen, Sam’oen Bin Alwijan) yang menjadi representasi rakyat Banten untuk Indonesia dalam kepahlawanannya. Tokoh yang pernah menjabat  Bupati Serang (Januari 1946-Maret 1949) itu lahir di Citangkil, Cilegon, Banten, 5 April 1894.

Ruang lingkup perjuangannya tidak sebatas secara fisik di Banten, tetapi bergema dan memiliki kontribusi secara nasional.

Ia telah menambah keyakinan Sukarno-Hatta dalam mempertahankan Negara Republik Indonesia dari ancaman Gerakan Dewan Rakyat yang melakukan teror-teror yang bertujuan membentuk wilayah sendiri yang terpisah dari  Indonesia.

Brigjen K.H. Syam’un memiliki  semangat anti-penjajah dan nasionalisme yang tinggi yang diekspresikan  melalui pendekatan pendidikan dengan membangun pesantren.

Semangatnya dalam perjuangan bersenjata juga tampak dalam posisinya sebagai Panglima Badan Keamanan Rakyat (BKR) dan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dalam mempertahankan Negara Republik Indonesia, serta mengirimkan kader-kader terbaiknya dari Banten dalam proses kemerdekaan Negara Indonesia. 

Ia wafat di Gunung Cacaban, Cilegon, 2 Maret 1949 dan dimakamkan di Desa Kamasan, Kecamatan Cinangka, Kabupaten Serang, Banten.

Peringatan Hari Pahlawan seharusnya  bisa menjadi energi dan semangat  mewarisi nilai kejuangan dan patriotisme para pahlawan tersebut dalam membangun bangsa.
 
Baca juga: Surat-surat pendiri bangsa dipamerkan di Museum Nasional
Baca juga: Peran Kasman Singodimedjo dalam persatuan bangsa
 

Editor: Dewanti Lestari
Copyright © ANTARA 2018