Bogor (ANTARA News) - Hasil penelitian Universitas Washington, Amerika Serikat (AS) yang menyatakan bahwa virus flu burung (Avian Influenza/AI) di Indonesia telah menyebar antarmanusia tidak bisa dibuktikan kebenarannya karena hanya menggunakan model matematika dari kasus kluster AI di Karo, Sumatra Utara, (Sumut). "Untuk mengetahui apakah AI menular dari manusia ke manusia harus dilakukan uji epidemiologis, klinis, dan laboratorium. Sedangkan penelitian Universitas Washington tersebut hanya berupa model matematika dengan mengambil kasus kluster Karo," kata Dekan Fakultas Kedokteran Hewan (FKH), Institut Pertanian Bogor (IPB), Dr Drh Heru Setijanto di Bogor, Senin. Penjelasan itu disampaikan disela-sela seminar dan rapat koordinasi lokal Kelompok Kerja Regional (KKR) Bogor, Komite Nasional Flu Burung. Ia mengatakan, kalaupun terjadi penularan antarmanusia dan muncul banyak kluster, sifatnya "dead end" atau terbatas pada satu keluarga. "Ini terkait erat dengan faktor genetika. Jadi sifat penyebarannya "unsustainable"," katanya. Namun demikian, kata Heru Setijanto, Indonesia tetap harus mewaspadai kemungkinan penularan virus AI antarmanusia sehingga diperlukan pemetaan rutin di setiap wilayah. Ia menegaskan kembali, di Indonesia penyebaran flu burung baru pada tahap dari hewan ke manusia. Sebelumnya tim riset Universitas Washington mengonfirmasikan bahwa berdasarkan hasil riset mereka terhadap kasus seorang wanita Indonesia di Sumatera Utara yang terinfeksi virus mematikan itu Mei 2006, wanita itu tidak hanya menyebarkan virus itu ke sepupunya yang berusia 10 tahun saja tetapi juga ke anggota keluarganya yang lain. Tujuh dari delapan anggota keluarga korban yang tertular virus H5N1 ini segera meninggal, kata Ketua Tim Riset Prof Ira Longini. Namun dalam kasus di Sumatera Utara ini, terjadinya pandemi dapat dihindari karena adanya tindakan cepat dari para petugas kesehatan atau, setidaknya secara statistik. "Bisa saja karena keberuntungan," katanya. Indonesia merupakan negara dengan jumlah kasus flu burung tertinggi di dunia. Hingga April 2007 terdapat 106 kasus H5N1, 85 diantaranya meninggal. Sementara itu, Wakil Dekan FKH IPB, Dr Drh I Wayan T Wibawan mengatakan, masyarakat hendaknya lebih mewaspadai kehadiran unggas air karena merupakan "reservoir" virus AI. "Virus AI senang hidup pada kondisi lembab dan dingin. Jika kena panas, AI gampang mati. Namun dalam kondisi dingin atau di air, virus ini bisa bertahan hingga satu minggu," katanya. Apalagi, lanjut dia, unggas air banyak yang dikelola secara lepas tanpa dikandangkan sehingga penularan lewat kotorannya juga semakin besar. Menurut dia, titik-titik yang riskan menyebarkan virus AI diantaranya adalah pasar, rumah pemotongan hewan, tempat potong ayam, dan pengepul (pedagang pengumpul). Oleh karena itu perlu dilakukan penataan kota dan pasar sebagai salah satu titik penyebaran virus tersebut, kata Wayan T Wibawan.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2007