Tantangannya adalah memisahkan sampah, ini bukan lelucon. Jika (sampah organik dan nonorganik) sudah tercampur jadi satu, tidak ada yang bisa dilakukan
Jakarta (ANTARA News) - Hasil riset Jenna Jambeck dari University of Georgia yang menyebut bahwa Indonesia menjadi negara kedua yang melepas sampah plastik ke laut terbanyak di dunia setelah China -- mencapai 187,2 juta ton, memang mengejutkan sekaligus membuat sedih.

Banyak reaksi muncul setelahnya, dari mulai penyangkalan hasil riset hingga aksi penyelamatan lingkungan dengan pelarangan penggunaan kantong hingga sedotan plastik di masyarakat.

Apalagi bagi mereka yang jauh sebelum riset Jenna Jambeck itu telah bergumul dengan sampah plastik menyadari bahwa berjuta-juta ton bahan baku yang terbuang itu seharusnya dapat diolah lagi menjadi produk-produk daur ulang yang bernilai, tentu merasa miris.

Direktur SecondMuse Indonesia Simon Baldwin dalam diskusi bersama pemangku kepentingan pengelola dan pengolah sampah plastik yang diadakan bersama Ocean Conservancy di sela-sela pelaksanaan Our Ocean Conference (OOC) 2018 di Bali beberapa waktu lalu mengatakan memang dari hasil riset, Indonesia menempati posisi kedua terbesar yang melepas sampah plastik ke lautan.

Namun ia mengatakan ada inovasi teknologi dan inisiatif  yang ternyata sudah dilakukan oleh mereka di sini untuk mengolah sampah-sampah plastik tersebut menjadi sesuatu yang memiliki nilai, sekaligus mencegahnya mencemari lautan.

Mereka yang dimaksud Simon Baldwin adalah masyarakat dusun yang memilah sampah rumah tangga, BUMDes yang menjalankan bisnis pemilahan sampah, perusahaan rintisan atau startup yang mengembangkan aplikasi pengelolaan sampah di perkotaan, perusahaan jasa pengelolaan sampah rumah tangga, hingga pabrik yang mengolah sampah plastik untuk dijadikan produk bernilai lainnya.

Mereka-mereka adalah pihak yang telah berhasil mengubah pola pikir (mindset) tentang sampah yang bagi kebanyakan orang masih dianggap sebagai barang tidak berharga namun pada kenyataannya bisa diubah menjadi komoditas yang memiliki nilai ekonomi.

Namun apa yang telah mereka lakukan bukan tidak ada tantangan. Keberlanjutan usaha mereka tetap masih membutuhkan dukungan, mereka ternyata masih membutuhkan simpul jaringan yang bisa menguatkan usaha-usaha yang telah mereka lakukan dalam mengendalikan sampah plastik.

Karenanya dengan menjadi simpul jaringan dari mereka selaku pemangku kepentingan dalam pengolahan sampah plastik, menurut dia, diharapkan bisa menguak lebih besar persoalan untuk kemudian dicarikan solusinya bersama-sama.


Berbagai inisiatif

Dalam skala lebih besar, Range International Ltd. dari Selandia Baru yang di Indonesia beroperasi melalui PT Repal Internasional Indonesia di Pasuruan, Jawa Timur, memproduksi palet dari beberapa jenis plastik bekas.

Perusahaan ini, menurut CEO Range International Ltd. Stephen Bowhill, mampu mengolah 100 ton plastik bekas untuk dijadikan palet.

Pasar (kebutuhan) palet di dunia saat ini tidak tanggung-tanggung, menurut Stephen, mencapai 10 miliar unit. Persoalannya, tidak semua kayu yang digunakan legal, sehingga produk yang berbahan dari plastik bekas jelas menjadi solusi pengurangan sampah plastik sekaligus menjadi cara alternatif menekan angka deforestasi.

Meski prospek berbisnis palet berbahan plastik bekas ini menjanjikan namun ia mengatakan tantangannya cukup besar. Kapasitas produksi pabriknya di Jawa Timur masih bisa lebih besar lagi dari saat ini yang mencapai satu hingga tiga juta palet per tahun, namun persoalan kontinuitas bahan baku masih menghantui.

Tantangan yang ia hadapi saat ini adalah pasokan bahan baku plastik bekas pakai dengan kualitas, harga dan jumlah yang berkelanjutan.

"Pasar bahan bakunya (plastik bekas) sangat pendek, kami bilang kami butuh besok ternyata sudah habis besoknya. Kami butuh konsistensi bahan baku Ini karena kami akan ada kontrak dengan FSCG (Fast Moving Consumer Good) sekitar 2.000 palet per bulan," ujar dia.
 
Fasilitas pemilahan sampah dan pembuatan kompos di Desa Pererenan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, Bali, Minggu (28/10/2018). Yayasan Merah Putih Hijau bekerja sama dengan BUMDes Pererenan dalam menjalankan usaha pemilahan dan pengolahan sampah. (ANTARANews/Virna P Setyorini)


Perusahaan lain yang bergerak dalam skala kecil yakni ecoBali. Namun bedanya fokusnya bergerak pada manajemen sampah yang bertanggung jawab, dengan tujuan dapat menghilangkan sampah plastik di laut dan "landfill".

Program Manager ecoBali Paola Cannuciari mengatakan sejauh ini sudah ada 10.000 orang yang terlibat dalam usahanya mengelola sampah rumah tangga di Bali. Ada sekitar 30 bank sampah yang terbentuk baik di sekolah maupun komunitas.

Tantangan yang dihadapi untuk mengelola usaha ini, menurut dia, pendanaan. Sejauh ini tidak ada teknologi advance yang digunakan, semua serba manual, dengan mengambil sampah nonorganik dari setiap rumah tangga yang terlibat.

Butuh inovasi jika ingin mengolah kembali sampah-sampah nonorganik yang berhasil terkumpul tersebut. Dan sejauh ini, menurut dia, ecoBali tidak mengerjakan sendiri produk-produk daur ulang dari sampah nonorganik yang berhasil dikumpulkan.

Direktur Eco Bali I Ketut Mertaadi mengatakan pihaknya seminggu sekali melakukan pengambilan sampah nonorganik yang sudah terpilah oleh warga. Dengan satu mobil bak terbuka ada sekitar 70 rumah tangga terlayani.

Sementara itu, Merah Putih Hijau Bali (mph-Bali) yang juga melakukan bisnis pengelolaan sampah rumah tangga memulainya pada level desa di Desa Pererenan, Kecamatan Kuta Utara, Badung, Bali.

Usaha yang dirintis tiga tahun lalu oleh warga Jerman bernama Sean Nino ini memang bekerja sama dengan desa-desa serta komunitas pengelola sampah di Bali.

ia mengatakan desa merupakan level paling pas untuk membuat sistem pengelolaan sampah ini berhasil. Pemilahan sampah yang menjadi kunci keberhasilan sistem tersebut, dan harus dikerjakan setiap warga dengan benar.

Karenanya, guna memastikan warga memilah sampahnya dengan benar maka Peraturan Desa (Perdes) di Desa Pererenan sedang disiapkan. Jika pemilahan tidak berjalan baik maka biaya pengelolaan sampah akan menjadi lebih mahal.

"Tantangannya adalah memisahkan sampah, ini bukan lelucon. Jika (sampah organik dan nonorganik) sudah tercampur jadi satu, tidak ada yang bisa dilakukan," ujar Nino.

Edukasi jelas juga dilakukan. Dan cara terampuh membuat warga benar melakukan pemilahan, menurut dia, dengan memberitahukan bahwa nilai ekonomi sampah tersebut akan semakin baik jika terpilah dengan baik pula.

Merah Putih Hijau, Nino mengatakan bekerja sama dengan desa melalui BUMDes. Dari sana sampah tiga ton per hari bisa dikumpulkan, dengan komposisi 20 persen sampah nonorganik yang bisa didaur ulang, sedangkan sisanya 80 persen adalah sampah organik yang diolah menjadi kompos dan dimanfaatkan di persawahan di desa tersebut.

Ia berharap ada pula regulasi di mana industri daur ulang sampah plastik juga menerima bahan baku dalam skala kecil seperti yang dihasilkan dari BUMDes.
 
Chief Technology Officer GringGo Febriadi Pratama menjelaskan pemgembangan startup pelacak sampah guna membantu circular economy berjalan hingga level masyarakat di Bali, Minggu (28/10/2018). (ANTARANews/Virna P Setyorini)


Ada pula perusahaan rintisan GringGo yang mengembangkan aplikasi untuk memudahkan pengelolaan sampah di perkotaan.

Chief Technology Officer GringGo Febriadi Pratama mengatakan industri daur ulang membutuhkan bahan baku berupa sampah yang bisa diolah lagi.

Kesempatan ini yang pihaknya ambil, dengan menciptakan aplikasi yang memudahkan perusahaan-perusahaan daur ulang, salah satunya seperti PT Repal Internasional Indonesia, untuk mendapatkan bahan baku.

Febri mengatakan pihaknya sudah setahun terakhir menghimpun data dari level terbawah di Sanur, dan ini akan terus dikembangkan ke berbagai wilayah di Bali, bahkan dirinya berniat mengembangkannya ke 10 kota.

Dengan aplikasi yang dikembangkan dan dapat dipantau melalui telepon genggam maka sampah-sampah yang berasal dari masyarakat ini menjadi terlacak. Menurut Febri, ini dilakukan guna memastikan ekonomi melingkar atau circular economy berjalan sejak di level masyarakat.


Ekonomi melingkar

Managing Director International Initiatives Ocean Conservancy Susan Ruffo mengatakan 80 persen sampah di laut berasal dari daratan karena kesalahan manajemen pengelolaan sampah. Maka perlu menyelesaikan itu semua melalui sebuah sistem pengelolaan sampah yang efektif dan kerja sama berbagai pihak.

Pihaknya menggandeng SecondMuse Indonesia untuk mendorong berjalannya ekonomi melingkar, dengan mendanai hubinkubator bagi wiraswasta-wiraswasta yang mau berkecimpung dalam bisnis pengelolaan hingga daur ulang sampah plastik di Surabaya.

Hubinkubator ini diharapkan dapat memunculkan wiraswasta handal yang menjalankan ekonomi melingkar, di mana mereka akan berupaya mempertahankan nilai produk agar dapat digunakan berulang-ulang tanpa menghasilkan sampah (zero waste) melalui cara daur ulang (recycling), penggunaan kembali (reuse) atau produksi ulang (remanufacture).

Ocean Conservancy dan SecondMuse juga memikirkan jaringan penguatan bisnis hingga pemasaran dari Surabaya hingga Afrika. Sedangkan dengan Circulate Capital, pendanaan untuk hubinkubator akan diberikan.

Pendiri dan CEO Circulate Capital Rob Kaplan mengatakan dana akan disalurkan di Surabaya untuk membangun hubinkubator yang membantu berkembangnya ekonomi melingkar dan  merupakan bagian dari 90 juta dolar AS yang terkumpul dari sekitar enam produsen barang konsumsi dengan perputaran cepat (Fast Moving Consumer Goods/FMCG) guna mengatasi sampah plastik di laut.

Ia menyebut sebagian dana yang akan disalurkan tersebut merupakan fase pertama. Akan ada fase-fase pendanaan lainnya untuk mendukung ekonomi melingkar di Surabaya berjalan dan bisa menyebar ke daerah lainnya.



Baca juga: Masyarakat Indonesia gunakan 9,8 miliar kantong plastik per tahun
Baca juga: Bank sampah mampu menghasilkan miliaran rupiah
 

Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Dewanti Lestari
Copyright © ANTARA 2018