Jakarta (ANTARA News) - Ketua Panitia Bersama Konferensi Perempuan Timur (KPT) 2018, Maria Filiana Tahu, mengatakan, salah satu penyebab ketiadaan keadilan bagi perempuan di Indonesia bagian timur bila terjadi kasus kekerasan terhadap perempuan karena sebagian masyarakat masih kuat memegang hukum adat.

"Di wilayah timur, ada kebiasaan menyelesaikan persoalan dengan denda. Bisa denda uang, ternak atau tanah. Misal terjadi eksploitasi seksual yang membuat seorang perempuan hamil. Ini diselesaikan dengan denda sapi, tanah atau uang, selesai," kata dia, dalam konferensi pers, Jakarta, Kamis.

Menurut dia, denda secara adat seharusnya tidak menghilangkan tanggung jawab pidana seseorang dalam hukum. "Proses denda boleh dilakukan, tapi proses hukum harus ditegakkan," katanya.

Pihaknya pun mendorong keberpihakan pemerintah terhadap para perempuan korban tindak kekerasan.

"Undang-undang KDRT sudah ada tapi penegakkannya masih belum merata sampai pelosok Indonesia. Percepatan pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, saya kira akan sangat membantu menekan tindak kekerasan," katanya.

Pada 2017, Komnas Perempuan mencatat ada sebanyak 2.796 kasus kekerasan terhadap perempuan yang laporannya berasal dari Indonesia bagian timur.

Tingginya kemiskinan dan kesenjangan ekonomi di Indonesia Timur secara tidak langsung telah meningkatkan kerentanan perempuan terhadap berbagai bentuk kekerasan, eksploitasi, perkawinan anak, kematian pada persalinan, gizi buruk, putus sekolah dan perdagangan anak.

Tingkat kemiskinan di kawasan timur Indonesia juga masih tergolong tinggi.

Data Badan Pusat Statistik pada 2018 menunjukkan, jumlah orang miskin tercatat 9,82 persen dari total penduduk Indonesia yang sebagian besar berada di wilayah timur Indonesia yakni Maluku dan Papua tercatat 21,2 persen; Bali dan Nusa Tenggara 14 persen, Sulawesi 10,64 persen dan Kalimantan 6,9 persen.

Baca juga: Kasus kekerasan perempuan di Maluku meningkat

Baca juga: Menteri Yohana sebut KDRT masalah serius

Pewarta: Anita Dewi
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2018