Jakarta (ANTARA News) - Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Indonesia mengajak masyarakat untuk jeli dan kritis melihat program yang ditawarkan calon presiden (capres) dan wakil presiden apakah pro terhadap rakyat atau korporasi dalam penanganan isu lingkungan. 

"Yang harusnya dilihat masyarakat  apakah tawaran solusinya mereka itu pro terhadap kepentingan masyarakat sendiri atau pro terhadap kepentingan korporasi," ujar Manager Kampanye Keadilan Iklim Eksekutif Nasional Walhi Yuyun Harmono, Jakarta, Jumat.

Dia berharap akan ada perdebatan yang substantif di debat capres pada Minggu (17/2) yang akan menyentuh persoalan lingkungan dan perubahan iklim antara lain hak atas tanah, pemenuhan pangan dan solusinya tidak selalu berbasis kepada korporasi tapi seharusnya berbasis kepada kepentingan masyarakat karena masyarakat mempunyai kemampuan mengelola lahannya sendiri agar bisa mencukupi kebutuhan pangan.

Dia menuturkan isu lingkungan krusial yang harus menjadi perhatian saat ini antara lain konflik agraria, persoalan perubahan iklim, persoalan sampah dan energi. 

Dia mengatakan saat ini masih tergantung sekali pada energi primer bersumber dari energi kotor seperti batu bara, dan itu bukan hanya persoalan perubahan iklim tapi juga langsung berdampak ke masyarakat.

Tanah warga bisa hilang karena di sana akan dibangun pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara, di sisi lain, warga akan terpapar oleh polusi yang disebabkan oleh PLTU itu.

Dia tidak ingin program hanya sekadar melibatkan investasi dari berbagai investor, lalu kemudian mengesampingkan keterlibatan masyarakat atau kurang mengakomodasi kepentingan warga. 

"Dengan penggunaan batu bara itu, itu akan meningkatkan emisi kita dan itu akan meningkatkan suhu bumi secara gradual, jadi semuanya terhubung dan butuh kebijakan yang tidak satu kaca mata untuk menyelesaikannya harus holistik," tuturnya.

Dia menginginkan agar para calon presiden dan wakil presiden menawarkan solusi mereka atas paradigma pembangunan ekonomi dengan tidak melahirkan program-program kontradiktif terhadap kepentingan lingkungan, salah satunya melakukan peralihan dari energi kotor ke energi terbarukan, namun melakukan melakukan alih fungsi lahan.

Dia mengharapkan paradigma harus berubah untuk tidak lagi melakukan pembangunan ekonomi berbasis eksploitasi sumber daya alam yang berakibat buruk terhadap lingkungan.

Dia mencontohkan pengembangan biofuel, yang mungkin dianggap sebagai jawaban terhadap transisi dari energi kotor. Tetapi kemudian menciptakan masalah baru terutama kebutuhan lahan. Penambahan penggunaan lahan untuk pengembangan komoditas, entah itu sawit atau tebu untuk bioetanol juga memberikan tekanan baru pada alih fungsi lahan dan kemungkinan besar menciptakan konflik bagi masyarakat.

Program reforma agraria dan perhutanan sosial harus jadi agenda bersama karena jika dilaksanakan secara serius itu bisa menjawab persoalan ketimpangan penguasaan lahan, konflik agraria dan pengentasan kemiskinan. 

Ketika, masyarakat telah memiliki hak atas lahan, maka mereka dibantu untuk bisa mengelola dengan produktivitas optimal sehingga diharapkan selain bisa mencukupi kebutuhan sendiri juga mampu menyumbang untuk kebutuhan nasional akan pangan.

Baca juga: Walhi harapkan capres punya tawaran konkret atasi persoalan lingkungan hidup
Baca juga: Penanganan perubahan iklim belum jadi prioritas di visi dan misi capres-cawapres

Pewarta: Martha Herlinawati S
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019