Setelah kemeriahan perayaan Imlek bagi masyarakat keturunan Tionghoa berlalu, biasanya akan diikuti dengan perayaan Cap Go Meh yang tentunya setiap daerah memiliki ciri khas tersendiri, termasuk yang digelar di Kota Makassar, Sulawesi Selatan.

Jika menyusuri kota berjulukan "Anging Mammiri" ini, hampir di semua sudut-sudut jalan di Kota Makassar, spanduk bertuliskan "Jappa Jokka Cap Go Meh" terpajang.

Perayaan yang berlangsung pada Selasa (19/2) malam itu, bertepatan dengan malam ke-15 Imlek 2570 disambut meriah oleh komunitas Tionghoa dan juga masyarakat Kota Makassar. Mereka menjadikan perayaan itu salah satu sarana hiburan dan wujud toleransi.

Salah seorang seniman Makassar berdarah Tionghoa, Moch David Arianto yang akrab disapa Ko David itu, menuturkan istilah Cap Go Meh berasal dari bahasa Hokkian, artinya malam ke-15 Imlek atau hari terakhir perayaan Imlek.

Perayaan ini di Makassar diawali pada masa kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang dikenal Pasar Malam Cap Go Meh.

Penggagas kegiatan ini adalah Yonggris, Ketua Perwakilan Ummat Budha Indonesia (Walubi) Sulsel dan Ketua Vihara Girinaga Makassar Roy Ruslin.

Selanjutnya istilah Pasar Malam Cap Go Meh itu dirilis Lembaga Swadaya Masayarakat (LSM) Komunitas Pemerhati Budaya Tionghoa Indonesia (KPBTI).

Dalam perkembangannya, lanjut Ko David, dimunculkan istilah "Jappa Jokka" Cap Go Meh dengan mengasimilasi bahasa Bugis dan Makassar yang berarti jalan-jalan, sehingga kegiatan itu dapat dimaknai jalan-jalan menikmati perayaan Cap Go Meh.

Bahkan tiga tahun belakangan "Jappa Jokka" Cap Go Meh dari hasil pantauan di lapangan, Pemerintah Kota Makassar telah menjadikan perayaan ini sebagai salah satu agenda pariwisata tahunan.

Istilah "Jappa Jokka" Cap Go Meh ini, lanjut Ko David yang juga keturunan Bugis-Makassar ini, perayaan Cap Go Meh sudah menyatu dengan tradisi Bugis-Makassar, baik budaya dan kulinernya.

Hal tersebut membuat kegiatan itu bisa dijadikan tempat berkumpul sambil menikmati penganan kue dan makanan lainya yang berciri khas Tionghoa dan Bugis-Makassar.

"Saya senang mengajak keluarga jalan-jalan di kawasan pecinan Jalan Sulawesi tempat perayaan Cap Go Meh, karena bisa menikmati aneka jajanan," kata warga Makassar, Rahmadani. Ia cukup berjalan kaki dari rumahnya ke lokasi itu karena dekat.

Kendati ada kesan jika peristiwa "Jappa Jokka" Cap Go Meh ini hanya memindahkan pasar senggol semalam di jantung pecinan jalan Sulawesi Makassar, warga Makassar dan sekitarnya turut meramaikan perayaan komunitas Tionghoa di kota yang penduduknya multietnis ini.

Menanggapi anggapan masyarakat jika malam Cap Go Meh sebagai malam temu jodoh, Ko David membantah hal itu.

Dia menjelaskan sejarah Cap Go Meh sesungguhnya banyak versi, namun yang ditegaskan dalam hal ini sesuai versi cerita rakyat kuno Tiongkok itu hanya dua versi.

Versi pertama, sejarah lampion kisah awalnya dari keresahan seorang kaisar yang bermimpi akan dibakar dan dibumihaguskan kerajaan dan wilayah pemerintahannya kala itu.

Melihat gelagat keresahan kaisar, perdana menteri membisik ke kaisar perihal di pasar ada seorang ahli nujum yang dapat memecahkan kegundahan mimpinya.

Lalu kaisar pun mengikuti petunjuk perdana menterinya. Tanpa diketahui oleh kaisar bahwa ahli nujum itu sebenarnya perdana menterinya yang menyamar sebagai ahli nujum.

Sepulang dari pasar, kaisar memerintahkan seluruh rakyatnya membuat lampion sesuai anjuran ahli nujum itu. Lampion dinyalakan pada malam hari untuk mengecoh musuh yang akan menyerang kerajaan dan wilayah pemerintahannya.

Alhasil, dari kejauhan pada malam hari desa-desa dipenuhi cahaya terang benderang, mirip kobaran api dari lampion yang dipasang di depan rumah.

Akhirnya, musuh pun mundur dan mengira sasaran penyerangan sudah terbakar. Padahal cahaya itu berasal dari lampion yang dinyalakan warga.

Versi kedua, putri Yen Siao yang merupakan abdi dalem kerajaan di era salah satu dinasti Kerajaan Tiongkok. Ketika Yen Siao akil balik, dia merasa kesepian. Sejak kecil dia dikungkung dalam istana kerajaan tanpa bisa berinteraksi dengan orang tuanya, bahkan dia sendiri tidak mengenali bagaimana rupa orang tuanya.

Suatu ketika, dia merasa kesepian, rindu ingin berjumpa dengan orang tuanya dan nyaris bunuh diri dengan cara melompat ke dalam sumur.

Untungnya, perdana menteri di kerajaan itu melihatnya dan bertanya, "kenapa kau nekad mau menghabisi nyawamu di sumur itu?"

Yen Siao menjawab, "tidak ada gunanya hidup dalam kemewahan istana tanpa merasakan kasih sayang dari kedua orang tua".

Perdana menteri pun memberikan ide ke kaisar untuk melaksanakan pesta rakyat dan festival lampion yang dilengkapi semboyan filosofi pada lampion.

Perdana menteri membuat lampion raksasa yang bertuliskan "Yen Siao". Lalu perdana menteri meminta Yen Siao berdiri tanpa kemana-mana di bawah lampion raksasa tersebut.

Saat pesta itu berlangsung, tiba-tiba seorang bapak terperangah melihat tulisan di lampion raksasa, dan melihat seorang gadis yang berdiri tepat di bawah lampion itu.

Bapak itu spontan berteriak dengan memanggil Yen Siao. Sang gadis menoleh ke arah suara itu dan melihat sosok orang tua yang memanggilnya.

Akhirnya bapak dan anak dipertemukan di bawah sinar lampion. Isak tangis penuh keharuan akhirnya pecah dan warga turut terharu.

Inilah cikal bakal Cap Go Meh sebagai hari kasih sayang terhadap orang tua dan sesama. Bukan hari kasih sayang untuk mencari jodoh.

Terlepas dari kisah-kisah itu, perayaan Cap Go Meh di Makassar dengan mengalkuturasi budaya setempat melalui "Jappa Jokka" Cap Go Meh telah menjadi salah satu bukti dalam memupuk keberagaman.

Baca juga: Pedagang sajikan Kue Bulan dan Kerak Telor tandai budaya Tionghoa-Betawi bersatu

Baca juga: 26 replika naga ikuti cap go meh di Pontianak

Baca juga: Ruas Utara Jalan Pancoran Glodok ditutup dua hari untuk festival Cap Go Meh



 

Pewarta: Suriani Mappong
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019