Jakarta (ANTARA News) - Hingga saat ini Indonesia masih belum lepas dari fenomena kebakaran hutan dan lahan baik karena perbuatan manusia atau faktor alam.

Ketika memasuki musim kering terutama saat El Nino, kondisi hutan dan lahan mudah terbakar. Apalagi ketika intensitas curah hujan tidak cukup tinggi, maka kebakaran akan cepat meluas. 

Bahkan, kerap kali perusahaan membuka lahan konsesi dengan menebang dan membakar hutan. Demikian pula dengan pola hidup masyarakat yang kerap kali terkait dengan degradasi hutan karena menggantungkan hidup pada sumber daya alam seperti menebang pohon secara sembarangan dan melakukan ladang berpindah.

Padahal tanpa masyarakat sadari, pola eksploitasi lahan seperti itu telah menambah luasan kerusakan hutan. Contohnya, masyarakat melakukan ladang berpindah dengan menebang dan membakar sebagian wilayah hutan tanpa ada upaya pemulihan lahan yang ditinggalkan.

Baru-baru ini terjadi kebakaran hutan dan lahan di Riau, yang mana lebih dari 850 hektare lahan terbakar sejak awal 2019. Kebakaran terluas terjadi di Kabupaten Bengkalis. Upaya penanggulangan kebakaran pun masih terus dilakukan.

Salah satu daerah yang dilanda kebakaran di Riau adalah Desa Mumugo Kecamatan Tanah Putih, Kabupaten Rokan Hilir, Provinsi Riau, yang dinsinyalir disengaja untuk kepentingan perkebunan kelapa sawit. Luas kebakaran sudah mencapai 30 hektare mayoritas semak belukar. 

Kepala Manggala Agni Daerah Operasi (Daops) Pekanbaru Edwin Putra mengatakan kebakaran hutan dan lahan di Desa Mumugo berada di areal peruntukan lain (APL) sebagian besar lahan masyarakat.

Dengan respons cepat, tim Satuan Tugas Gabungan dan Manggala Agni Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bergerak aktif memadamkan api yang membakar hutan dan lahan di wilayah Provinsi Riau dan Sumatera Utara (Sumut) akibat El Nino lemah.

Jumlah titik panas indikasi kebakaran hutan dan lahan di seluruh Indonesia berdasarkan citra satelit sebanyak 70.971 pada tahun 2015, lalu 3.844 tahun 2016, kemudian 2.440 tahun 2017, dan 9.205 tahun 2018.

Pemerintah seyogyanya menyiapkan langkah-langkah antisipatif atas apapun kebakaran yang terjadi, baik karena pengaruh alam maupun perbuatan manusia.

Perusahaan-perusahaan yang melakukan pengrusakan kehutanan seperti membakar hutan untuk membuka lahan juga harus ditindak tegas agar tidak melakukan pembakaran hutan atau mengeksploitasi sumber daya alam dengan merusak lingkungan seperti membuka tambang-tambang liar. 

Selain itu, perlu dicarikan pemecahan masalah dalam membantu masyarakat yang menggantungkan mata pencahariannya melalui pemanfaatan sumber daya alam dan pengelolaan hutan.  Masyarakat harus diarahkan untuk beralih ke kegiatan ekonomi produktif dengan pengelolaan lahan dan hutan yang lestari dan berkelanjutan.

Misalnya, warga dapat mengembangkan madu hutan dari lebah liar serta bercocok tanam tanpa harus berpindah-pindah.

Kebakaran hutan menyebabkan pencemaran udara dan peningkatan emisi karbon yang berpengaruh pada perubahan iklim dan pemanasan global, yang berakibat buruk bagi kelangsungan hidup di muka bumi seperti peningkatan suhu permukaan bumi dan mencairnya es di kutub yang menyebabkan naiknya permukaan air laut. 

Ke depan, yang harus juga dipikirkan adalah bagaimana melakukan pemulihan hutan agar tidak menjadi beban bagi generasi yang akan datang. 

Pemerintahan Joko Widodo yang masih menyisakan waktu delapan bulan pada periode pemerintahan 2014-2019 diharapkan mampu menyelesaikan masalah kebakaran hutan. 

Kebakaran hutan dan lahan tentu juga harus menjadi perhatian bagi calon presiden yang akan memimpin Indonesia pada periode berikutnya. Untuk itu, diharapkan muncul pemimpin yang pro lingkungan dan mampu menyajikan pemecahan masalah atas kebakaran hutan dan lahan serta pengrusakan lingkungan untuk mewujudkan bumi yang lestari. 

Berdasarkan olah data yang disajikan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Indonesia pada 2018, luas daratan Indonesia adalah 191.944.000 hektar persegi dan luas lautnya 327.381.000 hektar persegi. Sementara, 159.178.237 hektar wilayahnya sudah terkapling dalam izin. 

Sebagian besar wilayah izin tersebut berada di wilayah darat. Apabila dibandingkan dengan luas wilayah darat, maka luas penggunaan wilayah secara legal dialokasi untuk korporasi adalah 82,91 persen. Adapun dibandingkan dengan wilayah laut adalah 29,75 persen. 

Manajer Kampanye Pangan, Air dan Ekosistem Esensial Eksekutif Nasional Walhi Wahyu A Perdana mengatakan catatan penggunaan ruang itu bisa lebih besar apabila data perizinan daerah dapat terregistrasi atau bisa dikonsolidasikan dengan baik di tingkat kementerian/lembaga.

Dari data titik panas yang diolah oleh Walhi, dari 8.617 titik panas sepanjang 2018, sejumlah 3.427 titik panas berada di lahan gambut.

Pemerintah telah melakukan penegakan hukum terhadap 11 perusahaan dengan total denda mencapai Rp18 triliun. 

Wahyu menuturkan meski pemerintah berhasil meraih kemenangan dalam gugatan terhadap korporasi itu, dimana pada 2015-2018 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah mengantongi deposit kemenangan terhadap korporasi dalam gugatan kerugian dan pemulihan lingkungan hidup sebesar Rp16,94 triliun untuk kerugian lingkungan hidup dan Rp 1,37 triliun untuk biaya pemulihan, namun belum ada satupun putusan yang sudah dieksekusi hingga saat ini. 

Untuk itu, menjadi suatu tantangan bagi pemerintah untuk lekas melakukan eksekusi untuk mendapat denda yang harus dibayarkan oleh korporasi yang melakukan pengrusakan lingkungan. "Ini cerminan bahwa masih banyak 'pekerjaan rumah' ke depan terkait lingkungan hidup dan sumber daya alam," ujarnya. 

Perusahaan yang lahannya terbakar juga harus memantapkan upaya restorasi dan pemulihan lahan, gambut dan hutan. 

Pemantauan dan evaluasi perlu dilakukan secara berkala terhadap dampak dan kondisi infrastruktur restorasi lahan dan daerah gambut serta pencegahan dan penanganan kebakaran hutan dan lahan.

Penegakan hukum dan peraturan secara transparan harus dikedepankan dalam mengatasi permasalahan kebakaran hutan dan lahan di wilayah konsesi perusahaan.

Kolaborasi lintas kementerian dan lembaga serta koordinasi antara pusat dan daerah harus ditingkatkan untuk pelaksanaan penegakan hukum dan peraturan serta penanganan dan pencegahan kebakaran  hutan dan lahan yang lebih efektif dan efisien.*


Baca juga: Strategi "perang" Panglima TNI dan kebakaran hutan

Baca juga: Asap di pusaran pilpres


 

Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019