Jakarta (ANTARA News) - Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Hilmar Farid mengatakan mengangkat kembali sarung dalam Festival Sarung Indonesia 2019 adalah salah satu jalan yang dilakukan untuk mengembalikan kebudayaan kita yang sejak lama kurang diperhatikan dengan baik.

Menurut dia dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat, sarung dalam sejarah pergerakan bangsa sudah melewati banyak ragam peristiwa. 

Dulu sempat ada penolakan dari anak pribumi yang bersekolah di STOVIA ketika pihak sekolah mewajibkan mereka mengenakan pakaian tradisional.

Saat itu perspektif yang digunakan adalah kesetaraan dalam menggunakan pakaian antara pribumi dan penjajah.

"Mereka menolak karena ingin berpakaian modern. Kunci pada abad ke-20 adalah perjuangan mendapatkan kesetaraan, untuk menunjukkan kebaruannya. Pernyataan itu paripurna ketika masuk masa kemerdekaan," kata Hilmar saat menjadi pembicara dalam Diskusi Terbuka Sarung Indonesia yang digelar di Kemendikbud RI, Jumat. 

Di era kemerdekaan muncul perspektif baru yaitu konsep berdikari yang menggaungkan semangat maju dan modern dengan cara dan gaya bangsa Indonesia sendiri.

"Kami bisa kejar negara lain tapi dengan cara kita sendiri. Sarung jadi identitas," ucap dia.

Meski demikian, Hilmar juga tak menampik kalau pernah ada suatu masa saat masyarakat Indonesia kembali silau dengan modernitas barat dan tak memiliki daya tahan dalam menghadapinya.

Masa ini membuat masyarakat Indonesia menjadi latah pada hal yang berbau barat dan di waktu yang bersamaan lupa pada akar yang sudah bangsa Indonesia miliki.

"Dan bersamaan dengan itu, dominasi dari sistem global yang ada sekarang makin pesat, pengetahuan lokal kita makin surut sehingga kita kehilangan kemampuan membaca sejarah kita," ucap dia.

Di sisi lain kebudayaan Indonesia juga sudah lama direduksi sehingga hanya menyisakan ekspresi yang parsial dan memposisikannya sebagai dekorasi saja.

Padahal dalam kebudayaan Indonesia termasuk sarung, tersimpan cerita-cerita rakyat yang digambarkan dalam motif-motif yang ada di dalamnya.

"Kain itu ibarat perpustakaan, karena ada cerita, nilai posmologi, sejarah, tapi kemampuan kita membaca hilang dan menyisakan corak dan warna. Jadi kita harus menghidupkan kembali pengetahuan itu," ucap dia.

Walau pun begitu, kembali pada nilai tradisi bukan berarti mengesampingkan inovasi, sehingga perlu juga pemikiran baru yang membuat tradisi semakin maju.

Apalagi saat ini pemerintah juga telah melakukan sejumlah langkah strategis untuk mendukung kebudayaan dan inovasinya seperti lewat UU Pemajuan Kebudayaan dan lembaga seperti Bekraf.

"Tentu kita harus berkembang, tradisi hari ini adalah inovasi masa lalu. Dan mungkin sekarang adalah momen yang tepat untuk membuat inovasi membangun tradisi baru. Ini adalah modal yang luar biasa," kata Hilmar.*


Baca juga: Samuel Wattimena: Festival Sarung tak cukup sekali

Baca juga: Kebanggan pada sarung harus dikembalikan


 

Pewarta: Aubrey Kandelila Fanani
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019