Untuk kepentingan apa data itu harus bisa diakses. Dalam industri sawit selama ini, ujung-ujungnya data ini hanya akan dipergunakan sebagai alat kampanye hitam.
Jakarta (ANTARA) - Pengamat hukum Kehutanan dan lingkungan Dr Sadino mengatakan, pemerintah tidak perlu membuka data Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan sawit seluruhnya karena berpotensi dijadikan sebagai alat kampanye hitam.

Di sisi lain, negara juga wajib melindungi banyak kepentingan hukum lain terkait kerahasiaan ini, lanjutnya, salah satunya agar kepercayaan investor terhadap dunia usaha tidak menurun karena selama ini HGU juga djaminkan.

"Jika semua data HGU dibuka, maka kepercayaan investor terhadap dunia usaha di Indonesia menjadi berkurang," kata Sadino melalui keterangan tertulis di Jakarta, Jumat.

Menurut dia, sebenarnya data umum mengenai keterbukaan HGU sudah ada yang bisa di akses publik, diantaranya menyangkut luasan perkebunan, tanggal penerbitan, nomor penerbitan dan data umum lainnya.

Sedangkan, lanjutnya, permintaan kelompok sipil untuk mengakses semua data HGU terkait semua dokumen termasuk file SHP dan peta koordinat sangat berlebihan.

"Untuk kepentingan apa data itu harus bisa diakses. Dalam industri sawit selama ini, ujung-ujungnya data ini hanya akan dipergunakan sebagai alat kampanye hitam, " katanya.

Menurut Sadino, kalau ada LSM yang mengaku mewakili masyarakat sipil atau masyarakat yang berkonflik dalam kasus per kasus pengajuan itu bisa saja dilakukan, namun tetap ada mekanisme eksekusi/putusan.

Dalam putusan/ eksekusi yang sering menjadi masalah adalah karena yang digugat hanya Badan Pertanahan Nasional (BPN). Sedangkan pihak-pihak seperti korporasi sawit lain sebagai pemegang tidak pernah digugat.

"Hal ini menyulitkan karena pemegang HGU, pasti akan keberatan dengan putusan BPN. Pada sisi lain, BPN hanya menguasai dokumen, tetapi lahan telah menjadi hak privat sampai selesai masa berlaku selesai," katanya.

Menurut Sadino, salah satu cara yang bisa dilakukan BPN dalam menghadapi tuntutan masyarakat yakni melakukan evaluasi jika pemanfaatan lahan tidak sesuai atau terjadi penelantaran lahan.

Sadino mengingatkan, pemerintah juga punya kewenangan untuk menolak membuka seluruh data HGU karena tata cara di undang-undang perkebunan sangat ketat untuk mendapatkan HGU.

Sementara itu Guru Besar IPB bidang ahli Kebijakan, Tata Kelola Kehutanan, dan Sumber Daya Alam (SDA) Prof Dr Ir Budi Mulyanto MSc mengatakan, tidak seluruh data HGU sawit bisa dibuka ke publik, karena ada kepentingan privat di dalamnya yang secara hukum dilindungi undang-undang.

"Data-data umum mengenai luasan dan izin HGU yang telah diberikan bisa saja menjadi data publik. Namun tidak etis dan tidak ada perlunya publik mengetahui data privat seperti titik kordinat HGU perusahaan. Apalagi sampai meminta semua data terkait dokumen kepemilikan HGU untuk dibuka,” katanya.

Mantan Dirjen Penataan Agraria pada Kementerian ATR/BPN ini juga mengingatkan prosedur yang ditempuh korporasi untuk mendapatkan HGU bukan perkara yang mudah.

"Ada proses perizinan yang selektif dan panjang di dalamnya serta melibatkan semua pihak termasuk masyarakat ulayat. Hal ini harus dihormati semua pihak," katanya.

Juru Bicara Kementerian ATR Horison Macodompis mengatakan, Kementerian ATR tidak bisa membuka data karena ada aturan untuk melindungi hak privat. Hal itu merujuk pada pasal 17 UU No 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik yang menyebut 10 pengecualian terhadap informasi yang wajib dibuka kepada masyarakat.

"Kami sangat terbuka, sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan mengenai hak privat pemegang hak. Kami juga masih berkoordinasi dengan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian sebelum terkait jenis data yang bisa dipublikasikan," ujarnya.

Pewarta: Subagyo
Editor: M Razi Rahman
Copyright © ANTARA 2019