Jakarta (ANTARA) - Siapa yang akan menolak jika dapat melancong secara gratis bahkan merenggut untung (cuan) dari hasil bepergian? Anda bisa melakukannya dengan mendalami profesi baru sebagai pelaku layanan jasa titip atau jastip, terutama saat melancong ke luar negeri.

Awalnya, pelaku layanan jastip muncul karena masyarakat kesulitan mendapatkan suatu produk, terutama mereka yang bukan tinggal di kota besar. Bahkan, orang-orang yang tinggal di kota besar, seperti Jakarta pun terkendala jarak, waktu dan biaya manakala ingin berbelanja suatu produk yang lokasinya jauh dari tempat tinggalnya, apalagi di luar negeri.

Itulah yang dirasakan Yunita Hayashi yang tinggal di Jakarta. Perempuan berusia 30 tahun itu mengaku kesulitan mencari barang yang hanya dijual di luar negeri dan tidak masuk pasar Indonesia.

Ia mencontohkan baju yang ingin dibelinya hanya ada di Thailand. Tapi, Yunita tentu akan banyak mengeluarkan uang untuk pergi langsung ke Negeri Gajah Putih sekadar membeli pakaian.

Yunita mengaku alternatif membeli pakaian itu di toko pada situs layanan jual-beli dalam jaringan (online) punya kelemahan tentang kualitas barang yang ditawarkan. Maka, cara yang ditempuh adalah menitip ke temannya yang akan melancong ke Thailand.

"Kalau ke Thailand misalnya, ongkos perginya justru malah lebih mahal dibanding harga baju yang dijual. Tentu saya lebih memilih jastip," ujar Yunita kepada Antara, Kamis (21/3).

Bukan hanya menikmati jasa, pengalaman sebagai penyedia jastip pun telah dijalani Yunita ketika jalan-jalan ke luar negeri. Sejumlah teman Yunita menitip barang, terutama untuk produk yang tidak tersedia di dalam negeri.

Alasan itulah yang mendorong Yunita bersama rekannya Daniel Wijono (40) untuk membuat aplikasi Gibby yang mempertemukan antara penyedia layanan jastip atau disebut "jastipers" dan pembeli barang.

Aplikasi Gibby menjadi perantara yang memudahkan setiap orang menjadi penjual dan menawarkan barang-barang kepada pembeli.

"Kami mengutamakan aspek keamanan para pengguna layanan jastip saat berbelanja karena Gibby menggunakan rekening bersama. Jadi setelah sepakat harga dan barang, pembeli mengirimkan uang ke Gibby setelah diterima akan diteruskan ke jastipers," kata Daniel.

Daniel pun memutuskan untuk fokus pada pengembangan Gibby dan melepaskan pekerjaan sebelumnya sebagai karyawan sebuah bank swasta di Jakarta menyusul potensi bisnis aplikasi buatannya itu.

Pakaian hingga pembasmi kecoa

Sejak dirintis pada 2017 dan diluncurkan pada 2018, permintaan demi permintaan barang jastip terus hadir dalam Gibby.

Daniel menuturkan barang-barang jastip dari luar negeri yang paling menjadi pilihan pengguna adalah pernak-pernik khas suatu negara, seperti pakaian, makanan, mainan, dan kosmetik. Tapi, ada juga pemesan yang menitip barang unik misalnya obat pengusir kecoa.

"Saya juga heran, ternyata ada juga yang titip itu. Barang yang sebelumnya tidak kami pikirkan," katanya.

Saat ini, aplikasi Gibby sudah memiliki lebih dari 3.000 pengguna, baik sebagai jastipers maupun pembeli. Gibby, lanjut Daniel, bukan menjadi pesaing para jastipers melainkan ikut membantu mereka dalam mendapatkan barang.

"Proses yang semula dilakukan manual melalui aplikasi Whatsapp atau Instagram menjadi melalui aplikasi kami," kata Yunita menimpali.

Gibby punya perbedaan mencolok dengan toko-toko online yaitu jaminan keaman dan kepercayaan pembelian barang.

Daniel mengatakan potensi penipuan seringkali muncul jika para pengguna memanfaatkan layanan toko online ataupun secara manual. Pembeli dapat berkomunikasi secara intens sekaligus melihat langsung barang yang diinginkan melalui Gibby, bahkan bertanya mengenai kualitas barang.

"Jadi, kami tidak menggunakan sistem stok seperti layanan toko online, tapi langsung beli saat menemukan barang. Ini sangat membantu pembeli dan penjual. Mereka sama-sama diuntungkan," katanya.

Keuntungan

Menurut Daniel, keuntungan yang didapatkannya dari Gibby berasal dari pembagian komisi antara penjual dan pembeli, di luar biaya transfer dan biaya kartu kredit.

Daniel optimistis pendapatan Gibby tidak hanya berasal dari pembagian komisi itu tapi juga dari hasil kerjasama dengan sejumlah merek-merek barang yang di-inginkan para pengguna.

"Saat ini, kami lebih fokus pada peningkatan jumlah para pengguna. Berikutnya, kami akan jalin kerja sama dengan pihak-pihak lain," katanya.

Berkembangnya layanan jastip itu menjadi peluang bagi para pengembang aplikasi. Selain Gibby, pengguna juga dapat menemukan berbagai aplikasi jastip lain seperti HelloBly, Jaztip, Airfrov, dan Bistip.

Fathia Uqimul (23), warga Bandung, mengaku sangat diuntungkan dengan layanan jastip.

"Biasanya, biaya yang dikenakan tergantung dari harga barang. Misal, pakaian seharga Rp100 ribu maka jasa titipnya Rp20 ribu. Tapi, harga itu juga tergantung dari kemampuan kita untuk menawar," katanya.

Interaksi yang dilakukan pun dapat disaksikan langsung melalui aplikasi panggilan video. Setelah barang yang diminta telah ditemukan jastipers, pembeli dan penjual menyepakati ongkos jasa dan ongkos kirim.

Bukan hanya sebagai pembeli, Fathia juga merasakan keuntungan sebagai penyedia jastip saat berbelanja di sebuah jaringan ritel yang menjual aneka ragam barang di Bandung.

Fathia mengunggah foto cerita lewat Instagram saat berada di toko itu. Permintaan penitipan barang berupa alat kosmetik, aksesoris hingga tas kecil, dari lingkungan pertemanan di media sosial itu pun muncul satu-per-satu.

Dalam sekali jastip, dia meraup keuntungan hingga ratusan ribu rupiah. Fathia bahkan tidak perlu mengeluarkan uang untuk barang yang dibelinya karena telah terbayar dari hasil biaya jastip.

"Pertama kali dapat Rp200 ribu. Itu bersihnya, bukan plus ongkos kirim," kata dia.

Ongkos jastip ini bukan menjadi satu-satunya pendapatan utama para jastipers. Fathia mengaku punya keuntungan lain yang bisa diperoleh seperti voucher belanja, diskon, dan "cash back" lantaran belanja dalam jumlah besar.

Baca juga: Cerita Raden Ayu, balik modal saat liburan berkat jastip
 

Pewarta: Asep Firmansyah
Editor: Imam Santoso
Copyright © ANTARA 2019