Film yang mengangkat budaya ini, tidak hanya dinikmati di dalam negeri. Tetapi juga luar negeri
Jakarta (ANTARA) - Film Darah dan Doa (1950) dengan sutradara Haji Usmar Ismail bukanlah film pertama yang diproduksi di Indonesia. Jauh sebelumnya yakni pada 1926, ada film Loetoeng Kasaroeng yang diangkat dari legenda masyarakat Sunda.

Film bisu yang disutradarai oleh G. Kruger dan L. Heuveldorp dirilis pada 1926. Film yang bercerita tentang makhluk buruk rupa yang berubah menjadi pangeran berwajah tampan, yang akhir jatuh cinta dan menikah dengan seorang putri kerajaan itu dibuat kembali dua kali yakni pada 1952 dan 1983.

Setelah Loetoeng Kasaroeng, banyak lagi film yang diproduksi di Indonnesia, seperti Eulis Atjih (1927), Lily van Java (1928), Resia Boroboedoer (1928), Setangah Berloemoer Darah (1928), Njai Dasima I (1929), Si Tjonat (1929), Si Ronda (1930), dan film bersuara pertama, yakni Boenga Roos dari Tjikembang (1931).

Akan tetapi, semua film tersebut, meski diproduksi di Indonesia namun sutradara hingga kru filmnya bukanlah warga negara Indonesia. Oleh karena itu, baru film Darah dan Doa yang benar-benar diproduksi oleh anak bangsa.

Hari pertama syuting film Darah dan Doa yakni pada 30 Maret 1950 tersebut, dijadikan tonggak bersejarah bagi perfilman Indonesia, yakni Hari Film Nasional yang kini diperingati setiap tahun.

Ketua Persatuan Artis Film Indonesia '56 (PARFI), Marcella Zalianty, mengatakan perfilman Indonesia sempat vakum pada periode 1990-an hingga 2000. Namun, Rudy Soejarwo mendobrak kevakuman tersebut melalui Bintang Jatuh.

"Seorang Rudy Soejarwo berusaha membangkitkan kembali perfilman Indonesia melalui Bintang Jatuh. Sekarang, kondisi perfilman Indonesia patut disambut gembira karena meningkat terus setiap tahunnya," ujar dia, beberapa waktu lalu.

Dia menambahkan bahwa Rudy bisa diibaratkan pahlawan bagi bangkitnya industri perfilman Indonesia, yang mana pada saat itu para produser enggan untuk membuat film.

Artis yang sukses membintangi sejumlah film ternama tersebut, mengatakan bahwa peningkatan dunia perfilman itu, tidak hanya dinikmati oleh para sineas namun juga masyarakat.

"Saya berharap semua pihak bisa menjaga kondisi yang sudah baik ini, menjaga kondisi gairah industri film dengan terus meningkatkan kualitas film," harap Marcella yang kini banyak berkiprah di belakang layar itu.

Jumlah film yang diproduksi pada 2018 tercatat 138 judul dengan jumlah penonton yang diperkirakan mencapai 42 juta orang.

                                                            Tuntunan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy mengatakan bahwa film hendaknya tidak hanya menjadi tontonan yang menghibur saja, tetapi bisa menjadi tuntunan.

Mendikbud Effendy memberi contoh tentang film Laskar Pelangi yang telah menginspirasi siswa di Bangka Belitung (Babel) untuk semangat belajar.

"Karena film Laskar Pelangi, anak-anak di Babel belajar lebih keras dan lebih baik. Berkat film itu pula, nilai Ujian Nasional (UN) siswa di Belitung meningkat," kata dia.

Untuk itu, ia terus mendorong agar para insan perfilman memproduksi film yang mampu memberikan inspirasi. Hal itu dikarenakan film memiliki dampak yang multiplier bagi daerah lokasi syuting film itu.

Mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Malang itu, mengatakan bahwa pihaknya terus mendorong agar insan perfilman untuk terus berkarya yang menghasilkan film yang berkualitas dan layak ditonton oleh masyarakat luas.

"Dorongan tersebut di antaranya berupa program peningkatan kompetensi insan perfilman, fasilitasi produksi, penayangan film, dan penyewaan hak tayang film," ujar Mendikbud Effendy saat memberikan sambutan pada pembukaan Hari Film Nasional (HFN) Ke-69 di Jakarta, Jumat.

Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Hilmar Farid mengatakan bahwa HFN menjadi momentum dalam pemajuan sektor perfilman.

"Pada HFN, kita bisa mencanangkan tentang strategi-strategi pemajuan sektor film. Baik penyebarannya dan hal lainnya," kata dia.

Hilmar juga menyebut Undang-Undang (UU) Perfilman yang sudah ada sejak 2019 perlu diperbaharui.

Ia mengatakan sejak 2019 sampai sekarang belum ada pembaruan, padahal dunia perfilman sudah jauh berkembang. Contohnya, dulu tidak ada "platform" dalam jaringan seperti saat ini.

"Makanya ini harus diperbaharui lagi," kata Hilmar.

Ia menjelaskan apresiasi masyarakat terhadap film Indonesia meningkat dari tahun ke tahun. Hal itu juga disambut baik oleh masyarakat. Begitu juga dengan film impor yang terus mengalami penurunan.

"Sekarang bagaimana caranya agar film ini dari segi kualitas dan juga penonton terus meningkat," ucap dia.

Kemendikbud menyiapkan sertifikasi kompetensi yang diyakini akan membuat sektor perfilman semakin kuat dan mapan pada masa mendatang.

Standar kompetensi merupakan amanat UU Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman pasal 74 ayat 1 dan 2 yang menyebutkan setiap insan perfilman harus memenuhi standar kompetensi melalui sertifikasi.

Ketua Lembaga Sensor Film, Ahmad Yani Basuki, mengatakan film merupakan investasi budaya.

Oleh karena itu, tak heran jika film yang mengangkat budaya lokal cukup tinggi perkembangannya.

"Film yang mengangkat budaya ini, tidak hanya dinikmati di dalam negeri. Tetapi juga luar negeri," kata dia.

Muatan kearifan lokal ini sangat menarik untuk difilmkan, ditambah lagi Indonesia memiliki pasar yang tinggi.

Oleh karena itu, insan perfilman harus memiliki kepedulian yang kuat terhadap budaya lokal. Jangan sampai dikuasai pihak asing.

 

Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2019