Jakarta (ANTARA) - Presiden dari Indonesia Gastronomy Association  (IGA) Ria Musiawan mengatakan saat ini masih terjadi salah kaprah mengenai tumpeng terutama pemotongan puncak tumpeng.

"Kebiasaan memotong tumpeng harus diperbaiki, karena berpotensi merusak nilai filosofis dalam tradisi tumpengan," ujar Iga di Jakarta, Selasa.

Tumpeng, kata dia, merupakan simbol atau lambang permohonan makhluk hidup kepada Tuhan Yang Maha Esa dan dapat juga diartikan dengan simbol hubungan antara pemimpin dengan rakyatnya.

Dengan memotong tumpeng dapat diartikan memotong hubungan tersebut. Jadi seharusnya, tumpeng tersebut tidak dipotong akan tetapi dikeruk, ujarnya.

Filosofi dan falsafah tumpeng adalah lambang gunungan yang bersifat awal dan akhir. Tumpeng juga mencerminkan manifestasi simbol sifat alam dan manusia yang berawal dari Tuhan dan kembali kepada Tuhan, katanya.

Dia juga menjelaskan bahwa tumpeng yang menjulang ke atas itu menggambarkan tangan manusia merapat dan menyatu menyembah Tuhan. Tumpeng juga menyimpan harapan agar kesejahteraan maupun kesuksesan semakin meningkat.

"Jadi kalau dipotong, maka seolah-olah itu memotong hubungan kita dengan Tuhan, karena puncak tumpeng itu melambangkan tempat bersemayam Sang Pencipta," kata dia lagi.

Pengerukan tumpeng, urainya, hanya boleh dikeruk sisi samping dari bawah, kemudian orang yang mengeruk tersebut mengucapkan doa dalam hati.

Pada zaman dahulu, para tokoh yang memimpin doa akan menjelaskan dulu makna tumpeng sebelum disantap, ujarnya.

Bagi para gastronom, makanan yang disajikan merupakan hasil dari adaptasi manusia terhadap lingkungan, agama, adat, kebiasaan, dan tingkat pendidikan.


Baca juga: Jokowi terima potongan tumpeng pertama dari Megawati
Baca juga: 170 tumpeng ramaikan gerebek suran di Wonosobo

 

Pewarta: Indriani
Editor: Dewanti Lestari
Copyright © ANTARA 2019