Purwokerto (ANTARA) - Kejadian bencana seringkali memunculkan gelombang keprihatinan dari berbagai pihak, mulai dari pemerintah hingga di lapisan masyarakat secara umum.

Pasalnya, kejadian bencana tidak hanya dapat menghancurkan infrastruktur yang sudah ada, tetapi juga bisa mengakibatkan jatuhnya korban jiwa.

Hal itu mendorong perlunya upaya yang lebih intensif untuk mengurangi dampak kerugian akibat bencana.

Dosen Mitigasi Bencana Geologi, Jurusan Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman Indra Permanajati mengatakan ada beberapa hal yang dapat dipelajari dari bencana yang terjadi.

"Mari kita coba menguraikan permasalahannya. Yang pertama adalah jenis bencananya dulu. Bencana alam dapat terbagi menjadi bencana yang murni karena pengaruh alam dan bencana yang kadang terkait dengan aktivitas manusia," katanya.

Bencana yang murni karena pengaruh alam seperti gempa bumi, tsunami, likuifaksi, angin, dan gunung berapi. Sementara jenis bencana yang ada faktor manusia di dalamnya, seperti tanah longsor, banjir dan amblesan tanah.

Indra mengatakan, bencana karena pengaruh alam, seperti gempa bumi, tsunami, likuifaksi, dan gunung berapi memang sulit untuk dikendalikan oleh manusia, karenanya perlu strategi mitigasi yang berbeda.

Untuk bencana yang sulit dikendalikan oleh manusia maka langkah mitigasi yang dilakukan harus difokuskan pada peningkatan kapasitas masyarakat untuk menghindari bencana dan mencegah dampak dari bencana.

Sementara itu, untuk bencana yang masih dapat dikendalikan, maka langkah mitigasi dilakukan dengan melibatkan semua elemen masyarakat untuk bersama-sama mencegah bencana.

Menurut dia, permasalahan yang muncul di Indonesia terkait bencana adalah bahwa kesadaran masyarakat untuk memahami bencana masih sangat kurang.

Permasalahan ini muncul, kata dia, karena tidak semua masyarakat mempunyai latar belakang pendidikan di bidang bencana, sehingga kepercayaan dan pemahaman mereka akan bencana masih perlu terus ditingkatkan.

Dengan demikian, maka salah satu solusi pencegahan bencana di Indonesia adalah menumbuhkan kesadaran masyarakat akan bahaya bencana alam jika kondisi alam sudah terganggu keseimbangannya.

Kesadaran ini harus bisa dipastikan sebagai semangat nasional untuk mencegah dan terhindar dari bencana. Kuncinya adalah keyakinan dan kesadaran untuk mencegah dan terhindar dari bencana.

Kemudian solusi kedua adalah perlu adanya fasilitator kebencanaan di tingkat kecamatan guna memantau kondisi wilayah yang rawan bencana.

"Perlu ada fasilitor kebencanaan
yang berbasis ilmu kebumian atau kebencanaan untuk tingkat kecamatan, minimal satu orang," katanya.

Dia menambahkan fasilitator tersebut nantinya dapat bertanggung jawab untuk memantau kondisi dan kemungkinan adanya potensi bencana alam di wilayahnya.

Menurut dia, pemantauan kondisi di wilayah rawan bencana tidak hanya bisa mengandalkan pengamatan warga setempat.

Dia mencontohkan, ada beberapa kasus banjir bandang yang disinyalir terjadi karena banyaknya bendungan-bendungan air di atas bukit karena longsor.

Padahal menurut dia, jika longsoran bisa terpantau dan kondisi alam bisa teridentifikasi dengan baik maka kemungkinan bencana bisa tidak terjadi atau bisa dikurangi dampaknya.

Untuk itu, kata dia, dibutuhkan ahli-ahli bencana yang mempunyai latar belakang ilmu kebumian dan kebencanaan di tingkat kecamatan untuk selalu memantau dan mengawasi kondisi kebencanaan di wilayah rawan.

Personel dimaksud, tambah dia, juga dapat bertanggung jawab memetakan dan memantau kondisi bencana alam dan memberikan saran mitigasi struktural.

Selain itu dapat memastikan adanya peningkatan kapasitas masyarakat untuk sadar dan tangguh bencana di wilayahnya.

Peningkatan kapasitas untuk sadar dan tangguh bencana, kata dia, harus mengakar ke semua lapisan masyarakat dan harus dijadikan bagian dari karakter bangsa.

"Pendidikan ini bisa dimulai dari sekolah dasar, menengah, bahkan perguruan tinggi, kemudian sosialisasi ke masyarakat secara terus-menerus, dan dukungan media," katanya.

Dia juga menambahkan, budaya menjaga alam dan sadar bencana harus dijadikan gaya hidup di tengah masyarakat dan diviralkan.

Solusi ketiga, kata dia, adalah penguatan riset di bidang kebencanaan mengingat kejadian bencana alam bisa saja terjadi karena kurangnya identifikasi bencana secara baik dan cermat, sehingga tidak teridentifikasi sebelumnya.

Dengan riset maka akan lebih bisa memastikan potensi bencana dengan baik. Selain itu, dengan informasi potensi bencana yang tepat, maka akan dapat diturunkan menjadi teknik mitigasi yang paling tepat di masing-masing wilayah.


Pendidikan Kebencanaan

Terkait dengan pendidikan kebencanan, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah, terus mengintensifkan sosialisasi mengenai kebencanaan kepada generasi muda yang ada di wilayah setempat.

Kepala Pelaksana Harian Badan Penanggulangan Bencana Daerah Banjarnegara, Arief Rahman mengatakan pihaknya berharap anak-anak sejak usia dini mendapatkan pemahaman terkait potensi ancaman bencana yang mungkin saja ada di sekitar mereka.

Target sosialisasi adalah para pelajar yang duduk di bangku sekolah menengah pertama hingga sekolah menengah atas.

"Untuk anak SMA target kami adalah sosialisasi tentang kebencanaan dan juga sekolah aman bencana. Bahkan kami pernah melakukan sosialisasi kepada anak-anak melalui kegiatan belajar kebencanaan bersama TK Askia Parakan Canggah Banjarnegara. Ada sekitar 69 siswa taman kanak-kanak yang ikut kegiatan yang digelar di joglo dan halaman BPBD Banjarnegara," katanya.

Adapun materi mengenai kebencanaan yang diberikan, kata dia, adalah dongeng bencana, dasar penyelamatan bencana gempa bumi, pengenalan alat pertolongan dan penanggulangan bencana hingga simulasi bencana gempa bumi.
Dia menargetkan, pada masa mendatang akan makin banyak lagi siswa sekolah di wilayah setempat yang mendapatkan materi mengenai kebencanaan.

Hal tersebut kata dia, diharapkan menjadi salah satu upaya penguatan budaya masyarakat tangguh bencana.

Sementara itu, strategi untuk menciptakan budaya tangguh bencana memang harus segera dilaksanakan dalam rangka mencegah atau aman dari bencana, bukan menunggu bencana sampai terjadi.

Ketika mendengar suatu daerah berpotensi bencana maka segala pemikiran harus diarahkan ke pencegahan dan persiapan.
Contohnya, jika suatu daerah sudah teridentifikasi longsor dan banjir maka pola pikir yang harus dibentuk adalah bagaimana cara mencegahnya untuk tidak terjadi longsor atau banjir.

Misalkan sudah dilakukan pencegahan masih terjadi longsor atau banjir maka perlu adanya evaluasi program dan riset untuk mencari parameter yang belum diketahui yang ikut berperan sebagai penyebab bencana. (*)

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2019