Pekanbaru (ANTARA) - Peran kaum perempuan di kalangan masyarakat Kawasan Hutan Rimbang Baling, Kampar Kiri Hulu, Kabupaten Kampar, Riau, dalam berpolitik terbilang aktif. Hal ini terlihat dari pengetahuan mereka tentang pemilu.

Mereka bahkan hafal kapan rencana pesta demokrasi yang akan diselenggarakan, yakni pada 17 April 2019. "Tahu mau ada Pemilu dari PPS," kata Kembang (40), ibu rumah tangga di Desa Gajah Bertalut, salah satu wilayah yang berada di kawasan Rimbang Baling.

Selain dari panitia pemungutan suara (PPS), warga Gajah Bertalut mengetahui informasi tentang Pemilu 2019 dari seringnya menonton siaran televisi, khususnya acara debat calon presiden dan wakil presiden.

Walaupun Kawasan Rimbang Baling terpencil dan terisolasi akibat tidak ada jaringan telekomunikasi, dan hanya bisa ditembus menggunakan sampan lewat jalur Sungai Subayang dalam waktu tempuh berjam-jam, siaran televisi sangat memadai, meski bisa diakses lewat antena parabola.

Setiap rumah warga memiliki antena parabola sehingga bisa mengetahui dengan cepat informasi terkini lewat siaran televisi nasional, termasuk luar negeri.

Bahkan, menurut cerita warga, mereka sudah dua kali nonton bareng debat calon Presiden dan Wakil Presiden di warung-warung kopi setempat.

Efek dari menonton debat itu berlanjut keesokan harinya. Dimana visi dan misi dari calon Presiden dan Wakil Presiden yang didengar semalam menjadi pokok bahasan di kalangan masyarakat. Hal ini semakin mematangkan pengetahuan dan sosialisasi pemilu itu sendiri dan tersampaikan dari mulut ke mulut.

Bukan hanya Kembang, kelompok perempuan lainnya di desa lain, seperti Pangkalan Serai yang juga berada dalam kawasan hutan lindung tersebut, cukup paham tentang hak mereka dalam pemilu. Tidak jarang, pembahasan tentang proses pergantian kepemimpinan negara Indonesia diperbincangkan saat berjumpa di tepian sungai sembari mencuci pakaian ataupun mandi.

Ibu-ibu, bahkan menjawab gembira dan tahu, ketika ditanyakan akan ada pemilihan Presiden RI, DPR RI, DPD, DPRD Riau dan DPRD kabupaten/kota.

Bahkan, mereka begitu rahasia untuk tidak transparan menyampaikan siapa pilihan hatinya ketika disinggung tentang para calon yang akan dipilih.

"Caliok beko pas hari H," kata Arzu Maini dengan logat Khas Bahasa Ocu Kampar, yang artinya, "melihat nanti pas hari H".

Arzu mengaku secara pribadi menaruh harapan kepada pemimpin yang baru nantinya agar bisa mengupayakan pemasangan jaringan telekomunikasi di desanya.

Baca juga: Kebanggaan tunagrahita merayakan pesta demokrasi


Perjuangan Srikandi
Para perempuan yang berjuang demi suksesnya Pemilu 2019 di Rimbang, Kampar, Riau. (Vera Lusiana)

Pemahaman politik yang baik di sebuah wilayah tentu tidak terlepas dari upaya dan perjuangan para petugas PPK dan PPS. Mereka, sebagai perpanjangan tangan Komisi Pemilihan Umum (KPU) secara berjenjang bersentuhan langsung dengan masyarakat.

Petugas harus mampu menyampaikan setiap informasi dan tahapan yang dilalui dalam proses sebuah pemilu. Mulai dari penetapan calon, penetapan daftar pemilih tetap, hingga cara dan proses penyelenggaraan. Sehingga pada hari pencoblosan semua diharapkan menyalurkan hak pilihnya.

Salah satu srikandi yang bertungkus lumus dalam menyukseskan Pemilu 2019 adalah Zurfiah, SSi, anggota PPK Kampar Kiri Hulu.

Wanita kelahiran Desa Gema, 18 Desember 1986, ini bISA dijadikan contoh bagi kaumnya, sebab di tengah kungkungan adat yang mengharuskan kodrat wanita sebagai pengurus keluarga dan kebun karet, dia memilih berjuang untuk melayani dan meningkatkan kesadaran berpolitik di tengah masyarakat.

Lahir dan menetap di Ibu Kota Kecamatan Kampar Kiri Hulu, persisnya di Desa Gema, membuat Zurfiah sudah mengenal medan di mana ia bertugas sebagai PPK.

Bercerita tentang pengalaman keluar masuk hutan saat menjadi PPK intensif dilakukan sejak tahun 2017, saat Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kampar. Berlanjut pada 2018 ketika Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Riau. Kemudian terpilih lagi pada Pemilihan Umum dan Pilpres 2019.

Zurfiah ikut mengantarkan logistik ke delapan desa wilayah kerjanya, yakni desa Muara Bio, Batu Sanggan, Tanjung Beringin, Gajah Bertalut, Terusan, Aur Kuning, Subayang Jaya dan Pangkalan Serai.

"Bekerja sebagai penyelenggara pilkada ataupun pemilu mempunyai sensasi dan tantangan tersendiri," ujar wanita yang juga menjadi guru honor di salah satu SMA di Gema itu.

Walau hanya memiliki penduduk yang tidak begitu banyak dengan jumlah daftar pemilih tetap (DPT) di wilayah itu hanya 2.267 jiwa, namun ia yakin tingkat partisipan penduduk desa cukup tinggi dibandingkan wilayah perkotaan.

Dengan merangkul PPS wanita, keberadaan mereka sangat diakui berperan sebagai bagian perangkat desa di luar pemerintah yang memberikan pemahaman tata cara memilih dan calon.

"Perempuan di Desa Rimbang Baling tak kalah aktif dari laki-laki untuk menyukseskan Pemilu 2019," tutur wanita berhijab ini.

Untuk melaporkan kondisi di lapangan, petugas di PPS saat berada di delapan wilayah terisolasi, terpaksa harus naik ke atas bukit.

Mereka berjalan puluhan kilometer ke puncak bukit itu untuk mendapatkan sinyal telepon. Itupun hanya bisa dilakukan saat siang hari karena akan berbahaya saat malam, yakni jalannya licin dan ada ancaman binatang buas.

"Jadi kapan pun waktu PPS dari Desa kawasan Rimbang Baling turun atau pun menelepon dari puncak yang ada sinyal harus diterima dan dilayani dengan baik agar tahapan yang sedang berjalan bisa dilakukan secara maksimal," tuturnya.

Ia dan petugas PPS di delapan desa itu bahu membahu menyampaikan informasi tentang tahapan demi tahapan pemilihan umum dan pemilihan presiden. Dengan berkunjung ke kelompok ibu-ibu dan bapak di desa, serta meminta menyebarkannya dari mulut ke mulut agar informasi itu tersampaikan oleh PPS.

Tidak jarang, Zurfiah harus berjam-jam di atas sampan guna mendatangi delapan desa. Sebab jaringan telepon yang tidak ada mempersulit komunikasi. Selain jauh biaya yang dibutuhkan juga besar.

"Kami melakukan sosialisasi dengan cara menempelkan pengumuman di tempat umum dan datang ke kegiatan yasinan di dusun," ujarnya.

Baginya menerobos hutan dan Sungai Subayang menjadi pengalaman yang luar biasa, sehingga bisa lebih memahami apa yang dirasakan masyarakat di daerah terisolir.

Penduduk desa yang homogen dan mayoritas Muslim mempermudah tugasnya untuk bersosialisasi. Keramahan warga yang mau menerima pengunjung dan satu budaya serta bahasa yang dipakai membuat penyampaian lebih maksimal.

Baca juga: Suku Bati juga menanti pesta demokrasi

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2019