Berdasarkan pengalaman-pengalaman sebelumnya, saya yakin Cyber Crime Polri mampu menelusuri jejak digitalnya dan segera mengungkap pelakunya
Semarang (ANTARA) - Pakar keamanan siber Doktor Pratama Persadha menyarankan agar warganet mengamankan media sosial dengan fitur paling standar menyusul kian maraknya peretasan terhadap akun medsos menjelang pemilu serentak, 17 April 2019.

"Sebut saja baru-baru ini akun media sosial (medsos) mantan Sekretaris Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Muhammad Said Didu diretas atau dibajak," kata Pratama Persadha kepada ANTARA di Semarang, Jateng, Senin.

Sebelumnya, kata dia, peretasan juga terjadi pada akun medsos tokoh-tokoh lainnya, seperti akun J.S. Prabowo, Ferdinand Hutahaean, Ustaz Abdul Somad (UAS), dan Haikal Hassan.

Banyaknya kasus peretasan yang terjadi dinilai oleh Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikasi (CISSReC) ini sebagai kejadian yang sangat memprihatinkan.

Pratama berharap pihak Cyber Crime Polri bersama Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia dan pihak terkait lainnya segera menelusuri kejadian tersebut. Apabila tidak mendapat perhatian dari aparat, dikhawatirkan isunya akan melebar ke mana-mana.

Menurut dia, bila ditarik ke sisi politik akan merugikan pihak pasangan peserta Pilpres 2019, baik nomor urut 01 maupun 02. Namun, lebih berbahaya lagi kejadian ini dapat memanaskan situasi di tengah masyarakat.

"Apalagi seperti di akun Said Didu, setelah diretas, lalu di-'posting' sebuah hoaks terkait dengan UAS. Ini imbasnya besar dan sudah sangat ramai di media sosial," kata Pratama yang pernah sebagai Ketua Tim Lembaga Sandi Negara (sekarang BSSN) Pengamanan Teknologi Informasi (TI) KPU pada Pemilu 2014.

Paling tidak, lanjut Pratama, ini adalah momen bahwa keamanan siber ternyata begitu sangat penting. Cyber Crime Polri harus berkolaborasi dengan Kominfo, Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), dan penyedia platform untuk mengejar pelaku.

Polri punya pengalaman bagus saat menangkap para admin @triomacan2000. Artinya, untuk mencari dan menelusuri pelaku sangat mungkin karena setiap kegiatan di wilayah digital pasti meninggalkan jejak.

"Berdasarkan pengalaman-pengalaman sebelumnya, saya yakin Cyber Crime Polri mampu menelusuri jejak digitalnya dan segera mengungkap pelakunya," tegas Pratama.

Namun, menurut dia, tidak kalah penting adalah setiap tokoh publik harus mampu mengamankan akun media sosialnya dengan fitur paling standar yang sudah disediakan.

"Langkah pengamanan yang dilakukan sama di seluruh media sosial, lakukan autentikasi dua langkah, lalu matikan layanan pihak ketiga, seperti gim dan aplikasi. Makin populer, artinya makin besar kemungkinan menjadi target peretasan oleh siapa pun," tutur Pratama.

Namun, tidak kalah penting adalah nomor seluler yang dimasukkan ke fitur autentikasi adalah nomor yang tidak disebar ke publik. Artinya, orang yang ingin melakukan kloning nomor seluler tidak tahu persis nomor mana yang dipakai.

"Ini penting karena salah satu cara menjebol akun medsos adalah dengan melakukan kloning nomor seluler," kata Pratama yang juga dosen Etnografi Dunia Maya pada Program Studi S-2 Antropologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.

Sebenarnya, menurut Pratama, bila akun yang diretas jelas milik politisi atau selebritis yang dikenal luas oleh publik, seharusnya platform seperti Twitter, Facebook, dan Instagram bisa mengembalikan kepada pemiliknya," ucap Pratama.

Untuk mengamankan WhatsApp, lanjut dia, sama seperti medsos lainnya. Aktifkan autentikasi dua langkah di "setting" keamanan. Jadi, secara berkala WhatsApp akan meminta beberapa digit nomor untuk masuk ke aplikasi.

Paling penting bila dikloning, katanya lagi, langsung lapor provider karena nomor pengguna medsos telah terdaftar dengan nomor induk kependudukan (NIK) dan kartu keluarga (KK). Dengan demikian, bisa langsung dimatikan dan WA diambil alih.

"Dengan adanya rentetan peristiwa peretasan medsos yang menimpa politisi dan selebtwit, hal ini sangat mungkin terjadi dengan kondisi keamanan siber Indonesia yang masih rentan," ujar Pratama.

Pewarta: D.Dj. Kliwantoro
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2019