Jember (ANTARA) - Komunitas "Peace Leader Indonesia" mengecam dengan keras tragedi kemanusiaan berupa insiden ledakan bom di tiga gereja dan tiga hotel mewah di Sri Lanka pada 21 April 2019, pukul 09.00 waktu setempat.

"Kami mengutuk keras dan mengecam aksi teror yang terjadi di Sri Lanka karena tidak berkemanusiaan dan dalam ajaran agama mana pun tidak dibenarkan melakukan kekerasan hingga menghilangkan nyawa seseorang," kata Koordinator Nasional Komunitas "Peace Leader Indonesia" Redy Saputro di Kabupaten Jember, Jawa Timur, Selasa.

Ia menyatakan prihatin atas kejadian tersebut karena tragedi kemanusiaan justru terjadi saat umat Kristiani memperingati hari besar keagamaannya. Tindakan pengeboman itu menyalahi ajaran agama karena tidak ada agama yang membenarkan tindak kekerasan dengan motif apapun.

"'Peace Leader Indonesia' menyatakan rasa simpati dan duka yang mendalam terhadap korban pengeboman di gereja dan hotel Sri Lanka, apalagi bom meledak di tempat ibadah," tuturnya.

Redy meminta aparat keamanan Sri Lanka bekerja keras mengusut tuntas kasus tersebut dan menghukum para pelaku pengeboman sesuai dengan peraturan yang berlaku.

"Kami menolak paham dan ajaran radikalisme, serta terorisme yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Mari berdoa untuk korban yang meninggal dan menggalang solidaritas untuk kejadian yang terjadi di Kolombo tersebut," katanya.

Dia mengemukakan tidak ada agama yang dapat membenarkan kebiadaban itu yang termotivasi dengan kebencian. Hal itu tentu mengancam kerukunan agama di Sri lanka, bahkan di dunia.

"Semua agama yang ada di dunia mengajarkan kebaikan dan kedamaian untuk saling mencintai dan menghormati agama lainnya, sehingga dapat hidup berdampingan satu dengan yang lainya," ujarnya.

Korban yang meninggal akibat rentetan serangan bom saat perayaan Paskah di Sri Lanka pada Minggu (21/4) bertambah menjadi 321 orang dan belum ada kelompok maupun pihak tertentu yang mengaku bertanggung jawab atas rentetan pengeboman yang mengguncang delapan lokasi berbeda di Sri Lanka itu.
 

Pewarta: Zumrotun Solichah
Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2019