Kami mengelus dada karena lagi-lagi kita kalah cepat dengan alam
Jakarta (ANTARA) - Disaster Management Institute Indonesia-Aksi Cepat Tanggap (DMII-ACT) mengemukakan tentang keharusan adanya upaya sistematis melalui kebijakan pemerintah untuk menanggulangi bencana sehingga korban dan kerugian tidak terlalu banyak.

"Masalahnya tidak ada langkah taktis tanggap bencana. Mungkin ada kearifan lokal, tetapi kita mudah melupakan siklus bencana padahal catatan tentang bencana ada," kata Direktur Disaster Management Institute Indonesia-Aksi Cepat Tanggap (DMII-ACT) Wahyu Novyan dalam peluncuran buku Ekspedisi Palu Koro di Perpustakaan Nasional, Jakarta, Selasa.

Ia mengatakan bencana alam berupa gempa, tsunami, dan likuifaksi di Sulawesi Tengah menghenyakkan banyak pihak. Saat bencana tersebut, ACT sedang melakukan aksi tanggap bencana di Lombok, Nusa Tenggara Barat.

Dia mengatakan saat itu ada peneliti radiofisika dari Lombok yang memberikan peringatan kepada relawan ACT tentang anomali geomagnetik di sekitar Sulawesi yang kemungkinan bisa menyebabkan gempa besar.

"Ketika terjadi gempa, tsunami, dan likuifaksi di Sulawesi Tengah kami semua terkejut. Kami mengelus dada karena lagi-lagi kita kalah cepat dengan alam," tuturnya.

Wahyu mengatakan tentang kemungkinan korban dan kerugian besar yang dialami Indonesia dalam bencana Sulawesi Tengah karena masyarakat dan pemerintah abai dengan hasil-hasil penelitian sebelumnya.

"Tahun 1980-an sudah ada peringatan agar Palu tidak menjadi ibu kota," ujarnya.

Menurut Wahyu, salah satu permasalahan yang dihadapi dalam upaya tanggap bencana adalah tidak ada langkah taktis yang dilakukan. Padahal, kota-kota besar di Indonesia semua memiliki potensi bencana.

Direktur Pemberdayaan Masyarakat Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Lilik Kurniawan berharap, buku Ekspedisi Palu Koro yang baru saja diluncurkan itu bisa menjadi acuan dalam membangun kembali Sulawesi Tengah setelah gempa, tsunami, dan likuifaksi.

"Buku ini merupakan bentuk literasi untuk melengkapi literasi kebencanaan yang dimiliki Indonesia. Selama ini belum banyak upaya literasi soal bencana," katanya.
 

Pewarta: Dewanto Samodro
Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2019