Jakarta (ANTARA) - Aktivis Perkumpulan Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER), Pius Ginting mengingatkan proyek pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara berpotensi menurunkan produktivitas ekonomi masyarakat.

"Dalam jangka panjang, ini (PLTU) akan terus menurunkan produktivitas (misalnya) pertanian yang ada di situ, namun ini yang tidak banyak masuk di dalam perhitungan kerugian,” kata Pius dalam acara temu media di Jakarta, Rabu.

Menurut Pius, pembangunan PLTU ini juga dapat mempengaruhi kondisi lingkungan di sekitarnya, terlebih dengan penggunaan batu bara sebagai bahan bakar utama.

Karena hal tersebut, Pius menyayangkan proyek PLTU masuk ke dalam daftar 28 proyek yang ditawarkan kepada China dengan skema investasi Belt and Road Initiative (BRI) dengan nilai total Rp1.296 triliun.

Terdapat empat proyek PLTU yang diusulkan, yaitu PLTU Tanah Kuning-Mangkupadi, Kalimantan Utara, PLTU Mulut Tambang Kalselteng 3 dan Kalselteng 4, Kalimantan Tengah, serta PLTU Ekspansi Celukan Bawang, Bali, dengan total 2.100 Megawatt.

Cost untuk PLTU itu pasti lebih tinggi, secara ekonomi, secara iklim, tapi ini yang belum banyak studi-studi yang dilakukan sehingga itu masuk di dalam perencanaan pemerintah,” ujar dia.

Pius mengharapkan proyek PLTU ini ke depannya tidak akan diteruskan, dan diganti dengan proyek pembangkit listrik dengan energi bersih terbarukan.

“Hal itu (dampak ekonomi) tidak akan terjadi jika sumbernya adalah sumber energi terbarukan, karena tidak ada dampak hujan asam," katanya.

Lembaga pemikir independen internasional yang berbasis di London, E3G, merilis survei mengenai persepsi masyarakat dari enam negara terhadap investasi asing untuk proyek penggunaan energi batu bara dan energi bersih terbarukan di negara masing-masing.

Menurut survei tersebut, dari 1.003 sampel orang Indonesia, sebanyak 26 persen menganggap investasi energi batu bara berasosiasi dengan dampak positif ekonomi jangka panjang, sementara untuk energi bersih terbarukan besarannya lebih tinggi yaitu 51 persen.

Menanggapi hal tersebut, aktivis Yayasan Indonesia Cerah, Adhityani Putri mengatakan masih ada diskoneksi antara aspirasi masyarakat dengan perencanaan ketenagalistrikan yang dilakukan pemerintah.

Ia menyebutkan rencana proyek PLTU di Kalimantan Tengah merupakan salah satu contoh diskoneksi tersebut, karena sebelumnya sudah banyak investasi untuk pelestarian hutan di kawasan itu.

“Tapi di saat yang bersamaan ada rencana ini bangun PLTU Mulut Tambang, mungkin kelihatannya kecil tapi kontradiksinya luar biasa," kata Adhityani.


 

Pewarta: Suwanti dan Satyagraha
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2019