Tak tanggung-tanggung mangkraknya UU PRT itu  sejak 2004. Tidak ada komitmen dan 'political will' dari DPR dan pemerintah untuk memrioritaskan ini
Jakarta (ANTARA) - Lembaga yang peduli pada pembelaan dan advokasi hak-hak buruh migran, Migrant Care mengatakan kesejahteraan pekerja rumah tangga di Indonesia belum dapat terjamin selama belum ada pengakuan negara.

“Selama ini belum ada pengakuan negara bahwa pekerja rumah tangga adalah pekerja yang harus dilindungi dan dipenuhi hak-haknya,” kata  Direktur Eksekutif Migrant Care, Anis Hidayah saat dihubungi ANTARA, di Jakarta, Senin.

Ia diminta tanggapan terkait peringatan Hari Pekerja Rumah Tangga Internasional 2019 yang berlangsung Minggu (16/6).

Dengan ketiadaan pengakuan dari pemerintah, kata dia, maka nasib pekerja rumah tangga pun jadi terkatung-katung.

"Baik yang bekerja di dalam maupun di luar negeri, pekerja rumah tangga masih menghadapi ketidakjelasan kontrak dan jam kerja hingga upah yang kecil," katanya.

Belum lagi, kata dia, kekerasan baik fisik maupun verbal yang juga masih menghantui kerja para pekerja rumah tangga. “Konvensi International Labour Organization (ILO) No 189 tentang Kerja Layak Pekerja Rumah Tangga sudah mendorong Indonesia membuat draft Rancangan Undang-Undang Pekerja Rumah Tangga (PRT) yang dapat menjadi dasar hukum pengaturan PRT. Tapi sampai sekarang belum juga diratifikasi,” katanya.

Sementara mengenai UU, diakui Anis pihaknya sudah beberapa kali memperjuangkannya. Sayang, tidak ada keinginan politik dari legislatif sehingga UU ini mangkrak di Senayan.

“Tak tanggung-tanggung mangkraknya UU PRT itu  sejak 2004. Tidak ada komitmen dan 'political will' dari DPR dan pemerintah untuk memrioritaskan ini,” katanya.

Anis berasumsi, mangkraknya RUU ini bisa jadi karena isu PRT dianggap tidak seksi oleh para pemegang kebijakan.

Selain itu, katanya, juga ada pandangan kalau mereka yang duduk di DPR adalah representasi majikan sehingga tidak mau mengesahkan UU ini.

“Artinya mereka sendiri yang enggak mau terikat dengan UU ini. Padahal pengesahan UU ini cukup 'urgent' untuk PRT,” katanya.

Ia tidak memungkiri kalau Menaker telah mengesahkan Permenaker untuk PRT. Meski demikian, pihaknya menilai hal ini pun tak ada implementasinya di lapangan. Berdasarkan data ILO, kata dia, sedikitnya 52,6 juta orang bekerja di dunia yang bekerja sebagai PRT, termasuk yang dikirim ke luar negara mereka. Sebanyak 80 persen dari jumlah itu adalah perempuan.

PRT disebutnya rentan terhadap eksploitasi dan perlakuan semena-mena, seperti upah rendah dan penganiayaan, karena mereka dianggap bukan sebagai pekerja formal dan tidak berhak mendapatkan kondisi kerja normal seperti pekerja di sektor formal.

Untuk itu, kata dia,  Konvensi ILO No 189 disetujui dalam sidang ILO di Jenewa, Swiss, sebagai landasan untuk memberi pengakuan dan menjamin PRT mendapatkan kondisi kerja layak sebagaimana pekerja di sektor lain.

Di Indonesia, akibat tidak ada payung hukum, pelaku kekerasan terhadap PRT selama ini hanya mendapatkan hukuman ringan, sementara kekerasan yang diterima korban sudah mengancam keselamatan jiwa, demikian Anis Hidayah.

Baca juga: Migrant-Care serukan ASEAN lindungi pekerja migran

Baca juga: Migrant Care desak penerbitan PP turunan UU Pelindungan Pekerja Migran

Baca juga: Migrant Care soroti penerapan regulasi perlindungan TKI


 

Pewarta: Aubrey Kandelila Fanani
Editor: Andi Jauhary
Copyright © ANTARA 2019