Jakarta (ANTARA) - Tim nasional Brasil baru saja berhasil mengatasi paranoia mereka terhadap adu penalti yang mengantarka mereka menjejaki babak semifinal Copa America 2019, namun Selecao kini dihadang bayang-bayang memori kelam Stadion Mineirao.

Adu penalti sempat menjadi momok Brasil, yang membuat mereka dua kali disingkirkan Paraguay dalam Copa America 2011 dan 2015, namun hal itu sukses mereka atasi dengan mengalahkan Paraguay 4-3 dalam laga perempat final Copa America di Stadion Gremio Arena, Porto Alegre, pada Jumat (28/6) WIB.

Bek Dani Alves, yang mengemban ban kapten karena Neymar Jr absen didera cedera, menyebut kemenangan atas Paraguay sebagai keberhasilan Brasil mengatasi trauma.

"Anda harus bisa mengatasi trauma. Hari ini kami dengan baik mengatasi trauma dua kali disingkirkan oleh tim ini dalam dua pertandingan babak gugur," kata Alves selepas pertandingan dilansir AFP.

Keberhasilan itu mengantarkan mereka ke babak semifinal, yang ironisnya justru membawa Selecao ke tengara memori kelam kekalahan memalukan hampir lima tahun silam, Stadion Mineirao, Belo Horizonte.

Baca juga: Ke semifinal, Brazil butuh adu penalti taklukkan 10 pemain Paraguay

Pada 8 Juli 2014, Brasil tampil di babak semifinal Piala Dunia menghadapi Jerman. Di bawah dukungan penuh publik tuan rumah yang memadati tribun penonton Mineirao, Brasil malah dipaksa menelan kekalahan memalukan dengan skor telak 1-7.

Sejak itu, Mineirao tak pernah lagi disambangi timnas Brasil, baik untuk sesi latihan apalagi laga persahabatan.

Kini, Brasil dipaksa untuk tampil lagi di Mineirao dalam laga semifinal menghadapi Argentina pada Selasa (2/7) setempat atau Rabu (3/7) WIB.

Willian, yang lima tahun lalu masuk sebagai pemain pengganti ketika Brasil sudah tertinggal enam gol tanpa balas dari Jerman, berusaha melupakan memori kelam kekalahan 1-7 di Mineirao tersebut yang oleh publik Brasil disebut sebagai Mineirazo.

"Kami tak terpengaruh kenangan kekalahan 1-7, itu sudah berlalu, sudah masa lalu," kata Willian.

"Kini kami punya skuat yang kuat ditempa laga-laga yang sudah kami lewati dan cara kami lolos," ujarnya usai mengalahkan Paraguay.

Maracanazo menanti

Jika Brasil berhasil mengalahkan Argentina dalam laga semifinal dan menghapus memori kelam Mineirao, Selecao masih akan dihadapkan pada satu trauma lain, yakni Maracanazo.

Maracanazo merujuk pada insiden kekalahan Brasil 1-2 dari Uruguay dalam babak final Piala Dunia 1950 di Stadion Maracana, Rio de Janeiro.

Kekalahan itu menjadi kenangan yang sangat buruk, lantaran Brasil baru saja melewati tahun sarat prestasi termasuk menjuarai Copa America 1949 dengan melumat Paraguay 7-0 di partai final serta mencetak 46 gol sepanjang turnamen itu.

Tiba dengan modal sepositif itu, Brasil memasuki babak final Piala Dunia 1950, yang digelar dalam format grup untuk menentukan juara, dengan hanya membutuhkan skor imbang melawan Uruguay untuk memastikan gelar juara.

Brasil sempat unggul lebih dulu berkat gol Friaca pada awal babak kedua, namun Uruguay membalikkan keadaan melalui Juan Alberto Schiaffino dan Alcides Ghiggia untuk memastikan kemenangan 2-1 dan trofi juara Piala Dunia 1950.

Baca juga: Aguero bertepuk dada, sebut Argentina kuat di babak gugur

Hasil itu menimbulkan duka yang begitu mendalam bagi publik Brasil, bahkan sejumlah suporter mereka dilaporkan menghabisi nyawanya sendiri selepas pertandingan.

Maracanazo juga melahirkan trauma lain bagi Brasil, yakni Hantu 50, yang selalu diungkit tiap kali mereka bertemu Uruguay terlebih jika pertandingan itu dimainkan di Maracana.

Maracanazo dan Hantu 50 mungkin akan membayangi lagi Brasil, jika mereka lolos ke final Copa America 2019, mengingat Uruguay masih punya kesempatan untuk mencapai partai pamungkas jika berhasil menang atas Peru di perempat final dan melewati hadangan Chile di semifinal.

Kendati demikian, Brasil pernah berhasil meruntuhkan trauma Maracanazo dan Hantu 50 ketika mengalahkan Uruguay 1-0 pada babak final Copa America 1989.

Baca juga: Pelatih ungkap latihan Chile selalu diakhiri menu tendangan penalti

Pewarta: Gilang Galiartha
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2019