Jakarta (ANTARA) - Kedutaan Besar RI untuk Kerajaan Norwegia menyatakan Norwegia tidak pernah menolak masuknya minyak sawit dari Indonesia, namun perlu memastikan bahwa produk CPO yang dihasilkan telah melalui sebuah proses yang berkelanjutan.

"Tidak ada pernyataan atau aturan di Kerajaan Norwegia yang melarang masuknya minyak sawit dari Indonesia," kata Duta Besar RI untuk Kerajaan Norwegia Todung Mulya Lubis di Oslo, melalui keterangan resmi yang diterima di Jakarta, Sabtu.

Todung menegaskan hal ini terkait resolusi parlemen Uni Eropa yang menetapkan kebijakan RED II (renewable energy directive) di mana dalam delegated act tersebut memasukkan perhitungan ILUC (indirect land use change). Upaya ini dinilai sebagai bentuk baru diskriminasi sawit oleh Uni Eropa.

Saat memberikan sambutan dalam Seminar Sawit yang diselenggarakan oleh Kedutaan Besar RI di Oslo, Jumat (28/6), Todung menegaskan peran strategis industri sawit dalam mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan (sustainable development goals/SDGs).

Industri sawit, kata dia, menjadi sandaran kehidupan bagi 20 juta masyarakat Indonesia. Ada 4,2 juta pekerja langsung di sektor kelapa sawit dan 2,4 juta petani sawit.

Sementara itu Penasihat Politik Menteri Lingkungan Hidup dan Iklim Norwegia, Marit Vea, menegaskan hal yang sama. Pemerintah Norwegia tidak melarang masuknya produk minyak sawit dari Indonesia.

"Tetapi apakah sudah dihasilkan melalui pendekatan yang sesuai. Kami akui minyak sawit sangat penting bagi perekonomian Indonesia," kata Vea.

Oleh karena itu, Indonesia dan Norwegia perlu mencari jalan keluar bersama agar industri sawit juga berperan dalam mereduksi emisi karbon dan mengurangi laju deforestasi.

Dalam kesempatan yang sama, Wakil Ketua Umum GAPKI (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia) Togar Sitanggang mengatakan industri sawit akan membawa Indonesia mencapai kemandirian energi.

"Siapa yang menguasai energi, mereka akan menguasai dunia. Itu yang membuat negara maju termasuk Uni Eropa khawatir dan akhirnya menghambat perkembangan minyak sawit," kata Togar.

Menurut Togar, komitmen untuk perbaikan tata kelola perkebunan sawit agar sejalan dengan tuntutan tujuan pembangunan berkelanjutan global dilakukan melalui berbagai cara, salah satunya penguatan sertifikat minyak sawit berkelanjutan melalui Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO).

Sebagai standar tata kelola sawit berkelanjutan di Indonesia, ISPO memiliki kesamaan tujuan dengan standar tata kelola global lain yaitu menekan deforestasi, mengurangi emisi gas rumah kaca dari perubahan fungsi lahan serta kepatuhan terhadap persyaratan hukum lain seperti perburuhan dan Hak Asasi Manusia (HAM).

"Penguatan ISPO mengadopsi nilai-nilai yang tertuang dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs). SDGs merupakan agenda pembangunan dunia yang disepakati di PBB untuk dicapai dunia hingga 2030," katanya.

Selain ISPO, Pemerintah Indonesia juga telah melaksanakan kebijakan moratorium hutan dan lahan gambut. Oleh karena itu, dalam berbagai kesempatan di dalam dan luar negeri, pemerintah bersama pemangku kepentingan berupaya mengampanyekan kelapa sawit sebagai produk strategis yang ramah lingkungan dan aman untuk kesehatan.

"Produk minyak sawit untuk campuran biodiesel dan industri makanan serta produk turunan lainnya dinilai paling kompetitif dari segi harga dan pasokan dibandingkan minyak nabati lain," kata Togar.

Baca juga: Menteri PPN: Isu sawit tidak dibahas dalam "Blue Book" UE-Indonesia

Baca juga: GAPKI: Ekspor minyak sawit tetap meningkat meski diskriminasi UE

 

Pewarta: Mentari Dwi Gayati
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2019