Selama ini barang impor konsumsi yang dijual melalui platform digital seperti media sosial sulit untuk bisa ditelusuri baik dari segi jumlah transaksi penjualan, asal barang, maupun distribusi.
Jakarta (ANTARA) - Pengamat dari Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Andry Satrio Nugroho menyatakan bahwa barang-barang konsumsi yang berasal luar negeri atau impor harus menjadi prioritas pemungutan pajak terutama yang bergerak melalui ekonomi digital.

"Kalau di dalam negeri, saya rasa tidak perlu pembebanan seperti itu karena untuk mendorong UMKM di dalam negeri juga bagaimana mereka masuk ke dalam market place. Yang perlu dikejar adalah barang-barang impor yang ditujukan untuk konsumsi," ujar Andry saat dihubungi di Jakarta, Senin.

Andry mengatakan selama ini barang impor konsumsi yang dijual melalui platform digital seperti media sosial sulit untuk bisa ditelusuri baik dari segi jumlah transaksi penjualan, asal barang, maupun distribusi.

Kesulitan pelacakan itu akan menjadi potential loss atau kebocoran penerimaan pajak yang seharusnya bisa ditarik oleh pemerintah guna menambah penerimaan negara.

"Kemarin sebetulnya sudah ada wacana dan PMK-nya juga mau diterbitkan tapi urung (diterbitkan), karena pada saat itu lagi ramai politik dan sebagainya. Tapi menurut saya ini perlu dikeluarkan, karena salah satu penghasilan potensial dari start-up digital," kata dia.

Pembebanan pajak bagi ekonomi digital khususnya barang impor konsumsi juga dapat menjadi jembatan untuk memproteksi keberadaan produk buatan dalam negeri.

Di sisi lain, pemerintah didorong untuk mengeluarkan kebijakan mengenai keringanan pajak bagi para bisnis rintisan yang berbasis teknologi (start-up) terutama UMKM dalam negeri agar bisa terus berkembang.

"Ini yang menjadi permasalahan kalau misalnya ecommerce tidak dipajakin, ke depan barang impor akan leluasa untuk masuk, sebenernya ini menjadi tidak baik," kata dia.

Ia pun memandang bahwa potensi pajak dari e-commerce sangat tinggi di tengah perubahan pola jual beli masyarakat. Kekhawatirannya yakni konsumen berpindah dari market place ke non market place seperti media sosial karena ingin terhindar dari beban pajak.

"Permasalahan awal karena adanya ketidakadilan di ritel ketika memandang e-commerce yang tidak membayar pajak. Ritel sudah membangun toko offline dan dia sudah membayar pajak. Pajaknya juga berbagai macam. Karena dia membangun toko offline, dia juga harus membayar pajak untuk toko offline tersebut," kata dia.

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengupayakan pendekatan untuk memungut pajak dari kegiatan ekonomi digital yang selama ini belum dilakukan optimal untuk menambah penerimaan negara.

"Untuk perusahaan yang dianggap digital, teman-teman pajak punya basis penghitungan dengan estimasi berdasarkan data mereka dan nanti disepakati," ujar Sri Mulyani.

Sri Mulyani menegaskan upaya ini harus dilakukan karena setiap kegiatan ekonomi di Indonesia harus dipungut pajak sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Ia memastikan pengenaan tarif pajak penghasilan dari setiap transaksi ekonomi digital akan tetap sama dengan kegiatan jual beli konvensional.

Namun, menurut dia, yang membedakan adalah tata cara pungutan karena Badan Usaha Tetap (BUT) yang terlibat dalam kegiatan ekonomi digital tidak seluruhnya mempunyai perwakilan di Indonesia.

Salah satu pendekatan pungutan yang diupayakan adalah kewajiban perpajakan berdasarkan seberapa banyak transaksi ekonomi atau volume kegiatan yang diperoleh dalam satu negara.
Baca juga: Jalan terjal mengembangkan ekonomi digital

Pewarta: Asep Firmansyah
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2019