Jakarta (ANTARA) - Pebisnis Indonesia diharapkan lebih berani menggarap pasar negara-negara anggota Asosiasi Perdagangan Bebas Eropa (EFTA), melalui Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif (CEPA) yang saat ini masih dalam proses ratifikasi.

“Saya mengamati banyak pengusaha Indonesia belum memanfaatkan pasar EFTA, mereka lebih fokus pada pasar tradisional, terutama negara-negara Uni Eropa,” kata Wakil Menteri Luar Negeri RI AM Fachir saat membuka Indonesia-EFTA Business Forum di Jakarta, Senin.

EFTA adalah tujuan ekspor terbesar ke-23 Indonesia, dan sumber ke-25 terbesar impor bagi Indonesia.

Ekspor produk Indonesia ke negara-negara EFTA tumbuh 267 persen pada rentang 2014-2018, sementara volume perdagangan juga meningkat 73 persen pada periode yang sama.

“Meskipun angka-angka tersebut menunjukkan tren positif setiap tahun, saya melihat masih banyak ruang untuk perbaikan. Saya percaya Indonesia-EFTA CEPA akan berfungsi sebagai katalis untuk memperkuat kemitraan ekonomi kedua pihak,” tutur Fachir.

Melalui CEPA, negara-negara EFTA, yakni Islandia, Norwegia, Swiss, dan Liechtenstein juga diharapkan bisa memfasilitasi lebih banyak produk Indonesia masuk ke pasar Eropa.

Sementara menunggu Indonesia-EFTA CEPA mulai berlaku pada 2020, pemerintah Indonesia siap membangun saluran komunikasi yang terbuka dan efektif dengan sektor pelaku usaha untuk meningkatkan pemahaman bersama.

Baca juga: Swiss percepat ratifikasi Indonesia-EFTA CEPA

Para pelaku bisnis Indonesia dan negara anggota EFTA juga dapat mengembangkan jaringan dan interaksi, seperti yang telah dilakukan Komisi Bersama untuk Ekonomi dan Perdagangan Indonesia-Swiss.

​​​Fachir berharap mekanisme bilateral serupa bisa diterapkan Indonesia dengan anggota EFTA lainnya.

Selain itu, pelaku bisnis Indonesia didorong untuk memanfaatkan CEPA dengan menciptakan branding yang kuat, yang dapat dengan mudah dikaitkan dengan Indonesia.

“Kita perlu menciptakan pola pikir, seperti ketika orang bicara ‘kopi’ maka yang dimaksud adalah kopi khas Indonesia,” tutur Fachir.

Di sisi lain, melalui CEPA diharapkan negara-negara EFTA meningkatkan investasinya di Indonesia, yang telah tumbuh 72,5 persen selama 2014-2018.

Sebagai negara demokratis yang stabil secara politik, menurut Fachir, Indonesia secara konsisten meningkatkan ranking kemudahan berbisnis dari peringkat 106 pada 2016 menjadi peringkat 72 pada 2018---dan telah memasang target untuk menjadi 50 besar pada 2020.

Target itu sejalan dengan fokus pemerintah Indonesia lima tahun ke depan yang disampaikan Presiden terpilih Joko Widodo untuk meningkatkan iklim investasi dan fasilitas berbisnis di Tanah Air.

“Visi ini bagus untuk komunitas bisnis karena membantu menciptakan kepastian hukum yang lebih kuat dalam kebijakan pemerintah,” kata Fachir.

Baca juga: Mendag targetkan perdagangan dengan EFTA naik dua kali lipat 2019

Terkait penegasan diplomasi ekonomi sebagai pilar penting kebijakan luar negeri Indonesia, Kemlu dan perwakilan-perwakilan RI di luar negeri secara teratur mengadakan konsultasi publik untuk membantu komunitas bisnis lebih memahami peraturan pemerintah.

“Tetapi kami selalu menekankan bahwa pemerintah hanya fasilitator, aktor sebenarnya adalah para pelaku bisnis itu sendiri,” tutur Fachir.

Kepala Hubungan Ekonomi Bilateral Kementerian Ekonomi Swiss Erwin Bollinger menyambut baik kesepakatan Indonesia-EFTA CEPA, yang disebutnya dapat menciptakan kerangka kerja yang stabil serta kepastian hukum di sektor perdagangan dan investasi.

“CEPA memfasilitasi pelaku usaha mengambil keuntungan dari pasar dan menyediakan kesempatan yang setara. Kami berharap kedua pihak bisa maju melalui perjanjian ini,” kata Bollinger.

Indonesia-EFTA CEPA yang telah ditandatangani pada Desember 2018 juga dinilai dapat membantu pembangunan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan untuk Indonesia yang makmur.

Baca juga: Kadin: perjanjian dagang Indonesia-EFTA bangun kemitraan strategis
 

Pewarta: Yashinta Difa Pramudyani
Editor: Azizah Fitriyanti
Copyright © ANTARA 2019