Kuala Lumpur (ANTARA) - Pertemuan tingkat menteri ke tujuh Negara-Negara Produsen Minyak Sawit (CPOPC) di Kuala Lumpur menjadi sarana atau platform untuk menentang pemberlakuan Delegated Act alias implementasi regulasi untuk kesepakatan Instruksi Energi terbarukan II (Renewable Energy Directive II) pada Februari 2019 mendatang di Uni Eropa.

Direktur Eksekutif CPOPC Tan Sri Datuk Dr. Yusof Basiron mengemukakan hal itu di Kuala Lumpur, Rabu, usai Pertemuan Ke Tujuh Tingkat Menteri CPOPC.

"Minyak sawit akan dibatasi atau dalam penggunaan biofuel di Uni Eropa. Kita akan dihadang oleh undang-undang baru yang disebut Delegated Act Red II. Ini berdampak terhadap harga sawit dan pengiriman minyak sawit dalam perdagangan ke Eropa serta dan akan berdampak pada pekebun-pekebun kecil kita yang bergantung pada industri sawit," katanya.

Sebagaimana diinformasikan Uni Eropa akan mendeklarasikan Delegated Act alias implementasi regulasi untuk kesepakatan instruksi energi terbarukan II (RED II) pada Februari 2019 mendatang.

Efek dari kesepakatan ini bisa mempengaruhi perdagangan sawit dunia menuju Eropa. Pemerintah Indonesia berniat mengajukan keberatan pada dewan pertimbangan WTO.

Melalui kesepakatan RED II ini sepanjang tahun 2020-2030 negara-negara Uni Eropa akan menetapkan kelapa sawit dalam kategori tanaman pangan berkategori risiko-tinggi dan risiko rendah pada perubahan penggunaan lahan secara tidak langsung - Indirect Land Usage Change (ILUC).

Artinya penggunaannya akan dibatasi dan bahkan dihapuskan secara bertahap dari pasar bahan bakar nabati Uni Eropa

"Pertemuan CPOPC akan disusul dengan beberapa tindakan di peringkat CPOPC dengan negara-negara Uni Eropa. Ini menjadi platform untuk membicarakan ketidakpuasan kita terhadap tindakan Uni Eropa menggunakan undang-undang baru mereka untuk menghalangi pengiriman minyak sawit ke negara mereka dalam penggunaan BBM biodiesel," katanya.

Selain pihaknya juga prihatin dengan harga sawit yang rendah dan CPOPC sedang merencanakan supaya ada tindakan lebih bermanfaat dari negara-negara pengelola sawit seperti Indonesia - Malaysia.

"Sekiranya usaha ini dilakukan secara serentak dan terkoordinasi antara dua negara, mungkin bisa merasionalisasikan ketersediaan sawit di pasar supaya harga tidak terlalu rendah dan turun seperti sekarang," katanya.

Yusof Basiron mengatakan harga sawit terlalu rendah dan tidak sejajar dengan tenaga untuk menghasilkan minyak sawit tersebut sehingga banyak ladang tidak menghasilkan keuntungan.

Salah satu usulannya adalah perlunya penanaman kembali atau replanting yang perlu dibicarakan kedua negara supaya pihak yang terlibat untuk penanaman kembali sawit agar bisa dibantu saat harga sawit rendah.

"Kalau dibantu maka mereka bisa melakukan penanaman lagi secara lebih cepat. Mungkin ini salah satu cara menurunkan harga. Kemudian penggunaan biodiesel di pabrik-pabrik Indonesia dan Malaysia. Ini semua akan dikaji lagi oleh Indonesia dan Malaysia," katanya.

Baca juga: Pertemuan CPOPC sepakat gugat WTO kalau pajak sawit disahkan
Baca juga: Pertemuan CPOPC dukung keberpihakan petani dan pembangunan sawit berkelanjutan
Baca juga: Indonesia-Malaysia bentuk Dewan Penghasil Minyak Sawit


 

Pewarta: Agus Setiawan
Editor: Maria D Andriana
Copyright © ANTARA 2019