Jakarta (ANTARA) - Mantan Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri (Menko Ekuin) Rizal Ramli memenuhi panggilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jumat,  untuk diperiksa sebagai saksi dalam penyidikan kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Rizal diperiksa sebagai saksi untuk tersangka pemegang saham pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim (SJN).

"Saya dipanggil KPK untuk kasus SKL (Surat Keterangan Lunas) BLBI dalam kasus SJN dan ITN (Itjih Nursalim). Saya sendiri pada saat kejadian kasus itu bukan pejabat lagi karena itu terjadi pada tahun 2004 pada saat pemerintahan mbak Mega (Megawati Soekarnoputri)," kata Rizal saat tiba di gedung KPK, Jakarta, Jumat.

Baca juga: KPK tempel surat panggilan Sjamsul Nursalim di KBRI Singapura

Pemeriksaan Rizal pada Jumat ini merupakan penjadwalan ulang setelah tidak memenuhi panggilan lembaga antirasuah itu pada Kamis (11/7).

"Saya dianggap banyak ngerti, tahu prosedur dari sejak awal BLBI. KPK minta saya memberikan penjelasan spesifiknya," ucap Rizal.

Selain Rizal, KPK pada Jumat juga memanggil Sjamsul dan istrinya Itjih untuk diperiksa sebagai tersangka kasus BLBI tersebut.

Sjamsul yang merupakan pemegang saham pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) bersama istrinya Itjih merupakan tersangka dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi dalam proses pemenuhan kewajiban pemegang saham BDNI selaku obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).

Baca juga: KPK panggil Rizal Ramli sebagai saksi kasus BLBI Jumat

KPK telah menetapkan keduanya sebagai tersangka pada 10 Juni 2019.

Sjamsul dan Itjih diduga melakukan misrepresentasi terkait dengan piutang petani petambak sebesar Rp4,8 triliun.

Sjamsul dan Itjih diduga melakukan misrepresentasi terkait dengan piutang petani petambak sebesar Rp4,8 triliun.

Misrepresentasi tersebut diduga telah mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp4,58 triliun. Pasalnya, saat dilakukan Financial Due Dilligence (FDD) dan Legal Due Dilligence (LDD) disimpulkan bahwa aset tersebut tergolong macet dan hanya memiliki hak tagih sebesar Rp220 miliar.

Atas perbuatan tersebut, Sjamsul dan Itjih disangka melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2019