Jakarta (ANTARA) - Jejak hitam membelah sungai. Ada jejak langkah-langkah pria yang bergerak di tengah sungai berwarna cokelat pekat, yang menampung air beberapa anak sungai di Jakarta. Sesekali tangan pria dan jalanya bergerak merusuk masuk ke dalam air Kanal Banjir Timur di Jakarta Timur itu, untuk mencari cacing.

“Bisa dibilang kami mencari 'harta karun' di sini. Menggali lumpur untuk dapat harta, tapi hartanya itu cacing,” ungkap Manin, salah satu pencari cacing ketika ditemui pada Jumat siang, di KBT.

Manin adalah salah satu dari enam pencari cacing yang bekerja hari ini, menurut dia sebenarnya ada banyak yang melakukan pekerjaan itu di sepanjang kanal dengan bermodalkan jaring dan karung beras.

Bahkan, menurutnya, jumlah pencari cacing sehari-hari bisa mencapai 100 orang di sepanjang Kanal Banjir Timur saja.

“Kalau Jumat sepi, tapi hari Senin-Kamis biasanya lumayan banyak bahkan bisa sampai sekitar 100 orang,” katanya.

Cara kerja mereka adalah bergerak ke dalam sungai, mencari bagian yang dengan lumpur tebal dan dari situ menyerok bagian lumpur yang kaya akan cacing. Semakin tebal lumpur, makin gembira hati mereka.

Bau menyengat dan warna kehitaman sungai tidak membuat mereka gentar, malah mereka akan semakin bergerak ke arah yang kotor itu. “Semakin kotor makin bagus. Kalau sungainya bersih sekali susah untuk dapat cacing,” ungkapnya.

Hal yang sama diungkapkan Amanan, kolega Mamin yang bekerja membelah sungai siang itu.

“Kami kalau cari yang di bagian lumpur, karena di situ cacingnya banyak dari yang sutra sampai yang super ada di situ semua. Tinggal kita serok saja,” ungkap Amanan.

Warga Bekasi itu mengaku setiap hari bekerja dari pagi hingga jelang siang, semuanya itu dilakukan tanpa hati yang berat karena sesekali mereka bercanda saling melempar lumpur. “Ya, kalau dibawa sumpek, bisa stres terus marah-marah,” ungkapnya.

Kanal Banjir Timur adalah daerah penampungan yang dibangun pemerintah untuk daerah penampungan dan serapan air. Kanal seluas 207 kilometer itu menampung air dari berbagai sungai di Jakarta seperti Kali Ciliwung, Kali Cipinang, Kali Sunter, Kali Buaran, Kali Jati Kramat, dan Kali Cakung.

Semenjak dibangun, daerah itu sudah menjadi tempat favorit warga untuk berbagai kegiatan, mulai dari berolahraga dan bercengkrama di sepanjang pinggirnya, hingga mencari nafkah sebagaimana para pencari cacing.

Berbagai halangan dan rintangan sering ditemui pencari cacing yang bekerja di sana, termasuk ketika musim hujan yang membuat ketinggian air meningkat.

“Kemarin-kemarin sampai sedada airnya, biasanya cuman selutut. Itu kami sampai harus masukin kepala ke air buat nyerok. Sampai sekepala bau semua,” ujar Manin.
 

Pencari cacing melihat hasil kerjanya berupa dua karung lumpur dan cancing di Kanal Banjir Timur, Jakarta Timur, Jumat (19/7).
(ANTARA/Prisca T Violetta)

Untuk keuntungan
Sama seperti pekerjaan lain, para pencari cacing bekerja untuk keuntungan. Cacing yang mereka cari dari pagi hingga siang itu akan dijual untuk makanan ikan hias dan peternak ikan yang akan dikonsumsi.

Dalam satu hari mereka bisa mengumpulkan dua kantong lumpur berisi cacing, dengan di dalamnya terdapat berisi dua jenis cacing yang bisa diperjualbelikan yaitu cacing sutra dan cacing super.

Pencari cacing kemudian akan mengeringkan lumpur penuh cacing tersebut di bak yang ditutup plastik hitam. Cacing-cacing itu kemudian akan dimasukkan ke dalam satu wadah susu kaleng dan dalam sehari 15 wadah bisa dihasilkan pencari cacing.

Cacing sutra dan super memiliki harga yang berbeda dengan cacing sutra dijual Rp10.000-Rp15.000 per taker sementara cacing super bisa didapatkan dengan harga Rp20.000-Rp25.000 per takaran. Takaran yang dimaksud adalah wadah susu kaleng kental manis ukuran kecil yang digunakan untuk menempatkan cacing-cacing tersebut.

Kebanyakan cacing yang mereka dapat dijual ke penadah, tapi ada juga yang membuka toko sendiri untuk menjajakan hasil tangkapannya.

Amanan adalah salah satu dari yang menjual cacing-cacing tersebut di rumahnya, karena lebih mudah dan keuntungan akan lebih gampang dihitung.

“Peternak atau tukang ikan hias yang datang ke tempat saya. Lumayan keuntungannya. Minimal bisa buat makan dan sekolah anak,” ungkapnya.

Berjualan di daring juga sudah dilakukan oleh beberapa dari mereka, dengan menjualnya di lapak-lapak daring yang menjamur saat ini. Namun, menurut Amanan, itu dilakukan oleh yang paham teknologi dan usianya masih tergolong muda.

“Kalau di antara kami yang di sini belum ada, tapi ada temen saya yang jual di online. Pakai hape tinggal di foto terus dijual. Saya juga pengin coba, tapi nanti deh,” ujar Amanan.

Pekerjaan halal
Pencari cacing mungkin bukanlah pekerjaan yang akan dilakukan semua orang, kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang tidak bisa mengenyam pendidikan tinggi dan tidak memiliki kemampuan lain.

Seperti yang dikisahkan oleh Manin, dia sudah menjadi pencari cacing selama 15 tahun dan sudah bertualang mencari cacing di berbagai bagian ibu kota. Meski mungkin bukan pekerjaan impian untuk banyak orang, dia tetap melakukan itu demi melanjutkan hidup.

“Alasannya karena pendidikan. Kemampuan juga hanya itu saja. Tapi ini hasilnya lumayan dan bisa bantu untuk sekolahin anak, jadi saya lanjut mengerjakan ini,” ungkapnya.

Hal serupa dituturkan oleh Amanan, menegaskan tidak semua pekerjaan kotor itu berarti tidak pantas dan layak untuk dilakukan, apalagi jika mereka mendapatkan uang secara halal.

“Selama tidak mengganggu orang, tidak mencuri, tidak melanggar hukum sampai ditahan polisi, selama halal, pencari cacing itu masih bisa dikerjakan,” tegasnya sebelum melaju dengan motor, membawa dua kantong berisi lumpur dan cacing.

Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2019