Lamongan (ANTARA) - Serangan bom di kawasan Jalan M.H. Thamrin, Jakarta, pada bulan Januari 2016 yang menjatuhkan puluhan korban tewas dan luka-luka menjadi titik balik pola berpikir mantan narapidana teroris Agus Martin alias Hasan (38).

"Korbannya di Sarinah itu office boy dan masyarakat umum," kata Agus Martin dijumpai di Polres Lamongan, Jawa Timur, Jumat (26/7).

Ayah tiga anak itu dahulu ditangkap Detasemen Khusus 88 Antiteror Mabes Polri pada bulan Agustus 2013 di Desa Tenggulun, Lamongan, karena menyuplai senjata untuk jaringan teroris di Ambon, Poso, Bekasi, dan Solo.

Selama mendekam di balik jeruji besi hingga 2016, dia mengaku banyak memikirkan jalan radikal yang ditempuhnya. Muncul dalam benaknya, jihad tidak harus menggunakan kekerasan dan memunculkan korban.

Baca juga: Warga Lamongan pernah berangkat ke Suriah terus diawasi

Paham kelompok teroris ISIS yang mengaku ingin berjihad dalam jalan kekerasan tidak lagi sejalan dengan apa yang ada di kepalanya. Membina umat menjalani Islam yang rahmatan lil alamin jadi lebih masuk akal baginya.
Mantan narapidana teroris Sumarno (kiri) dan Agus Martin alias Hasan (kanan). (Foto: Dyah Dwi)


Dalamnya hati orang siapa yang tahu, mantan narapidana teroris Sumarno (43) pun baru tahu saat masuk penjara ternyata orang-orang terdekatnya yang berjuang bersama tidak memedulikannya.

Sumarno yang merupakan keponakan pelaku bom Bali Amrozi dan Mukhlas alias Ali Ghufron divonis 6 tahun penjara karena terbukti bersalah menyembunyikan senjata dan bahan peledak milik pamannya itu di Lamongan dan mengirim senjata dari Lamongan ke Bali.

"Selama di dalam saya berpikir ternyata teman-teman anggota Jamaah itu tidak mempedulikan saya. Orang dekat saya, kok, sama sekali tidak peduli dengan saya. Ini gimana?" kata Sumarno yang setelah bebas bersama pamannya, Ali Fauzi, mengelola wadah mantan napiter dan kombatan, Yayasan Lingkar Perdamaian (YLP), di Lamongan.

Selain menemukan fakta itu, dia berpikir orang Indonesia pada umumnya belum siap seumpama diajak untuk menegakkan negara Islam, terbukti saat di dalam kurungan, dia menjumpai napiter lain yang diajak salat tidak bisa.

Baca juga: WNI eks kombatan ISIS harus diproses hukum

Melihat kondisi itu, Sumarno yang kini sehari-hari menjadi guru ngaji di kampungnya mengajari narapidana lain mengaji, salat, dan tata cara wudu.

Yang lebih menyentuh batinnya adalah saat bertemu dengan korban penyintas, baik bom Bali maupun bom yang lain, yang dahulu tidak pernah dibayangkannya harus hidup berbeda.

Ia jadi menyesalkan apa yang telah dilakukan rekan-rekan dan keluarganya yang tergabung dalam Jamaah Islamiyah (JI) pada tahun 2002.

"Saat dipertemukan saya menangis, saat itu ternyata betul-betul dahsyat. Ternyata cacat fisik yang mereka derita sampai seperti itu. Seandainya saya yang mengalami seperti itu mungkin tidak bisa berpikir lagi, mungkin bahkan bisa bunuh diri," ucap Sumarno lirih.

Masih Banyak Ajakan

Menurut Sumarno, JI--meski pimpinannya Para Wijayanto dibekuk pada akhir Juni lalu--tetap melakukan rekrutmen dan pembinaan. Bukan untuk melakukan aksi amaliah dalam waktu dekat, melainkan penataan spiritual agar siap sewaktu-waktu dibutuhkan.

Pada masanya dahulu bergabung dengan JI, perekrutan dilakukan di pondok pesantren berbagai daerah di Indonesia, masyarakat umum serta akademisi kalangan kampus.

Baca juga: RUU Anti-Terorisme pun sasar WNI yang jadi kombatan teroris

"Ada doktrin untuk mendapatkan surga itu susah, dikondisikan penuh fitnah tidak ada cara, kecuali beramal dengan meledakkan dan yang lain sebagainya," ucap lelaki sederhana itu.
Mantan kombatan Yusuf Anis (ANTARA/Dyah Dwi)


Secara terpisah, Yusuf Anis (56), mantan kombatan yang pergerakan aktifnya di Malaysia, bahkan menjadi guru teroris Azahari Husin dan Noordin M. Top, menilai daripada JI, kelompok radikal di Indonesia kini lebih banyak yang bergabung dengan Jamaah Ansharut Daulah (JAD) dan menerima doktrin mentah-mentah, tanpa banyak berdiskusi dengan para ulama terlebih dulu.

Ia berpendapat bahwa kombatan-kombatan yang baru bergabung itu lepas dari tujuan awal mendirikan negara Islam. Mereka hanya mengacau dan terlalu bersemangat menanggapi pihak yang tidak sepemahaman.

Sementara itu, ajakan kepada lelaki yang pernah ditempa di pelatihan militer Afghanistan itu untuk kembali mengajarkan cara membuat bom dan melindungi para kombatan bukan datang sekali dua kali.

Akan diperalat kombatan lain dengan meminjam KTP pun, dia sudah pernah sehingga lebih berhati-hati agar tidak berteman dengan kombatan yang masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) Densus 88. Salah-salah dia bisa ikut dicokok.

Baca juga: DPR tegaskan perlu strategi komprehensif atasi perekrutan teroris

"Saya sendiri terlampau capek, saya termasuk di Malaysia DPO. Di Malaysia dikejar-kejar, lalu masuk ke Indonesia. Saya bisa bergerak ataupun melindungi asal tidak berbuat kekacauan atau tindakan kriminal," tutur Yusuf Anis yang juga aktif menjadi pembina di YLP.

Soal pandangan kombatan terhadapnya yang tidak lagi aktif, dia yakin masih dihormati karena paling senior dan tidak dituduh sebagai pengkhianat.

Hanya saja ahli pembuat bom dengan daya ledak tinggi itu dianggap sudah tidak searah. Pergaulan secara biasa masih dilakukannya. Akan tetapi, kini dia tidak lagi dibagi informasi tentang upaya perjuangan yang sedang digarap.

Diakuinya masih banyak juniornya yang sulit disentuh kalbunya, lebih mudah bila keluarga dahulu dapat disentuh. Namun, tidak jarang keluarga, bahkan lebih keras pemikirannya daripada napiter. Bahkan, ditemui pun tidak mau sehingga pendekatan menjadi cukup lama.

Meski begitu, kepada mereka, Yusuf Anis terus mengulurkan tangan agar mau keluar dari pikiran radikal. YLP pun kini beranggotakan 42 mantan kombatan dan napiter yang berdomisili di Lamongan. Walaupun jalan masih panjang, dia yakin akan dapat menarik lebih banyak juniornya ke depan.

"Indonesia ini bagi saya terlampau sulit kalau mau mendirikan negara Islam. Indonesia terlampau sulit karena masyarakatnya majemuk, ada yang setuju dan tidak setuju. Kalau dibuat polling saya kira banyak yang tidak setuju," ucap Yusuf Anis.

Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2019