Sebelumnya, PT KBN sebagai pemegang saham minoritas di PT Karya Citra Nusantara (KCN), telah menggugat KCN atas berbagai masalah termasuk meminta kepemilikan saham mayoritas.
Jakarta (ANTARA) - Ada orang besar atau penguasa yang melindungi Direktur Utama PT Kawasan Berikat Nusantara (KBN) H.M. Sattar Taba yang beberapa waktu lalu dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), klaim ketua Front Masyarakat Anti Korupsi (F-Maki).

Baca juga: KBNU minta KPK periksa direktur PT KBN

Baca juga: Pendiri soroti kinerja keuangan Kawasan Berikat Nusantara

Baca juga: Wapres imbau jaga pelayanan saat kunjungi PT KBN


‘’Kasus ini sepertinya stagnan, kami menduga ada kekuatan besar dibalik Dirut KBN Sattar Taba yang saat ini masih menjadi penguasa sekalius pengusaha juga,’’ kata Syaefudin lewat siaran pers di Jakarta, Senin (29/7).

Menurut Syaefudin, F-Maki telah tiga kali mendatangi KPK untuk mendesak pemeriksaan atas dugaan korupsi yang telah merugikan negara sebesar Rp48 miliar yang ditenggarai dilakukan oleh Dirut KBN.

F-Maki menduga ada intervensi yang dilakukan terhadap KPK, supaya kasus ini tidak disentuh. Pasalnya, bisnis pelabuhan Marunda cukup potensial dan menguntungkan.

"KPK, penegak hukum kepolisian dan Jaksa seharusnya tidak melakukan tebang pilih dalam menangani kasus hukum yang ada," klaim Syaefudin dalam rilis tersebut.

Sebelumnya, PT KBN sebagai pemegang saham minoritas di PT Karya Citra Nusantara (KCN), telah menggugat KCN atas berbagai masalah termasuk meminta kepemilikan saham mayoritas.

KCN sebenarnya merupakan anak perusahaan bentukan dua perusahaan, dengan porsi kepemilikan saham KBN 15 persen dan PT Karya Tekhnik Utama (KTU) yang memiliki saham 85 persen.

Sejak awal penandatanganan kerjasama, semua hal tersebut sudah diatur dalam kontrak yang sama-sama telah disepakati oleh pihak PT KBN dan KTU sebagai pemegang saham mayoritas atas KCN, menurut Syaefudin.

Namun, Sattar Taba sebagai Dirut KBN meminta revisi kepemilikan saham yang akhirnya disepakati porsinya 50:50.

Padahal, menurut Syaefudin, untuk pembangunan pelabuhan pier 1 yang telah beroperasi sepanjang 800 meter, KCN telah mengeluarkan biaya untuk pembangunan sebesar Rp3 triliun tanpa sedikitpun menggunakan APBN maupun APBD.

Menurut Guru Besar Hukum Administrasi Negara Profesor Ana Erlyana, yang dikutip dalam rilis itu, dibutuhkan keberanian negara untuk membenahi peraturan dan perundang-undangan kepelabuhanan yang sudah berusia cukup lama.

‘’Ada banyak bolong-bolong hukum yang harus dibenahi dan diisi karena UU ini dibuat sudah cukup lama, padahal banyak perubahan yang terjadi saat ini,’’ kata Ana dalam siaran pers tersebut.

Menurut Ana, negara harus membenahinya bila ingin mendorong investasi masuk ke sektor maritim.

"Itu untuk memberi kepastian hukum dan melindungi investor yang telah menggelontorkan dana untuk membangun infrastruktur," ungkap Ana.

Pewarta: Prisca Triferna Violleta
Editor: Ganet Dirgantara
Copyright © ANTARA 2019