Jogja (Antara Jogja) - Pemimpin dan politisi yang baik seharusnya mempraktikkan "tahta untuk rakyat", dengan berupaya mengetahui apa yang dibutuhkan masyarakat, dan berapa anggaran yang harus dialokasikan, kata peneliti Universitas Gadjah Mada Etty Indriati.
"Jadi, suara rakyat tidak dibeli dengan uang, tetapi dengan pengetahuan, empati, kebijakan tepat guna, tepat sasaran, dan ketegasan dalam bertindak," kata Etty pada bedah buku karyanya berjudul `Pola dan Akar Korupsi`, di Yogyakarta, Jumat.
Menurut dia, korupsi anggota parlemen sudah bukan rahasia umum lagi dan marak terjadi di berbagai negara. Berdasarkan kajian ilmu paleoantropologi, pola korupsi yang dilakukan para koruptor tidak ubahnya struktur sosial tribe, evolusi peradaban manusia di masa lampau, pemerintahan dibentuk berbasis keluarga sanak saudara.
"Saat ini yang terjadi adalah koruptor dan politisi membangun kekuasaan melalui mekanisme kekerabatan meskipun hidup di negara modern. Mereka hidup seolah pada abad pertengahan," katanya.
Ia mengatakan untuk memutus rantai kekerabatan perilaku korupsi itu negara perlu mengaturnya dengan tegas. Di Australia, kecil sekali ditemukan praktik korupsi karena negara berhasil memutus mata rantai kekerabatan itu.
"Cara yang paling efektif untuk memberantas korupsi adalah dengan memiskinkan para koruptor, tidak cukup dengan memberikan hukuman karena ditengarai tidak memberikan efek jera. Hukuman empat atau lima tahun itu sangat ringan," katanya.
Menurut dia, politisi sebaiknya bukan pencari kerja tetapi mereka yang sudah mapan secara ekonomi. Dalam kondisi normal, politisi harus mandiri secara ekonomi dari pendapatan politik yang didapatnya.
"Paparan itu pernah disampaikan ilmuwan Jerman Max Weber pada 1919 dalam sebuah kuliah terbuka. Paparan Weber tersebut masih relevan dengan kondisi politik di Tanah Air saat ini," katanya.
Apabila calon anggota legislatif yang ada saat ini terdiri atas para pencari kerja, kata dia, tidak menutup kemungkinan akan menjadikan posisinya nanti sebagai mata pencaharian.
"Hal itu mengakibatkan risiko penyalahgunaan wewenang untuk meraih pendapatan finansial untuk diri sendiri semakin besar. Akibatnya, kepentingan umum dikorbankan," katanya.
Deputi Pencegahan Tindak Pidana Korupsi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Iswan Elmi mengatakan penegakan hukum bukan salah satu cara memberantas korupsi.
Menurut dia, kenyataan selama ini, korupsi bukan justru berkurang tetapi malah semakin bertambah. Dari penanganan kasus korupsi, pelakunya semakin berlipat.
"Salah cara yang kini sedang ditempuh KPK dengan mengkampanyekan peningkatan integritas moral para penyelenggara negara. Integritas tidak berkorelasi dengan bertambahnya umur tetapi menciptakan budaya malu jika melakukan korupsi," katanya.
(B015)
"Jadi, suara rakyat tidak dibeli dengan uang, tetapi dengan pengetahuan, empati, kebijakan tepat guna, tepat sasaran, dan ketegasan dalam bertindak," kata Etty pada bedah buku karyanya berjudul `Pola dan Akar Korupsi`, di Yogyakarta, Jumat.
Menurut dia, korupsi anggota parlemen sudah bukan rahasia umum lagi dan marak terjadi di berbagai negara. Berdasarkan kajian ilmu paleoantropologi, pola korupsi yang dilakukan para koruptor tidak ubahnya struktur sosial tribe, evolusi peradaban manusia di masa lampau, pemerintahan dibentuk berbasis keluarga sanak saudara.
"Saat ini yang terjadi adalah koruptor dan politisi membangun kekuasaan melalui mekanisme kekerabatan meskipun hidup di negara modern. Mereka hidup seolah pada abad pertengahan," katanya.
Ia mengatakan untuk memutus rantai kekerabatan perilaku korupsi itu negara perlu mengaturnya dengan tegas. Di Australia, kecil sekali ditemukan praktik korupsi karena negara berhasil memutus mata rantai kekerabatan itu.
"Cara yang paling efektif untuk memberantas korupsi adalah dengan memiskinkan para koruptor, tidak cukup dengan memberikan hukuman karena ditengarai tidak memberikan efek jera. Hukuman empat atau lima tahun itu sangat ringan," katanya.
Menurut dia, politisi sebaiknya bukan pencari kerja tetapi mereka yang sudah mapan secara ekonomi. Dalam kondisi normal, politisi harus mandiri secara ekonomi dari pendapatan politik yang didapatnya.
"Paparan itu pernah disampaikan ilmuwan Jerman Max Weber pada 1919 dalam sebuah kuliah terbuka. Paparan Weber tersebut masih relevan dengan kondisi politik di Tanah Air saat ini," katanya.
Apabila calon anggota legislatif yang ada saat ini terdiri atas para pencari kerja, kata dia, tidak menutup kemungkinan akan menjadikan posisinya nanti sebagai mata pencaharian.
"Hal itu mengakibatkan risiko penyalahgunaan wewenang untuk meraih pendapatan finansial untuk diri sendiri semakin besar. Akibatnya, kepentingan umum dikorbankan," katanya.
Deputi Pencegahan Tindak Pidana Korupsi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Iswan Elmi mengatakan penegakan hukum bukan salah satu cara memberantas korupsi.
Menurut dia, kenyataan selama ini, korupsi bukan justru berkurang tetapi malah semakin bertambah. Dari penanganan kasus korupsi, pelakunya semakin berlipat.
"Salah cara yang kini sedang ditempuh KPK dengan mengkampanyekan peningkatan integritas moral para penyelenggara negara. Integritas tidak berkorelasi dengan bertambahnya umur tetapi menciptakan budaya malu jika melakukan korupsi," katanya.
(B015)