Yogyakarta (Antara Jogja) - Globalisasi telah meningkatkan penggunaan teknologi dan informasi serta intensitas gerakan migrasi yang secara tidak langsung menghasilkan perubahan interaksi di kalangan masyarakat.
Perubahan interaksi itu tidak hanya antarbudaya yang sama, tetapi juga budaya yang berbeda yang kemudian menyebabkan masyarakat multikultural.
Selain meningkatkan kekayaan dalam berbagai aspek, interaksi antarbudaya itu juga menghasilkan tensi, ketakutan, dan konflik antarmasyarakat.
Peneliti dari Universitate Jaime, Spanyol, Sidi M. Omar pada diskusi "Mahathir Global Peace School" di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) belum lama ini mengemukakan ada beberapa masalah yang terjadi dalam kehidupan multikultural di dunia saat ini.
Salah satunya adalah "Clash of Ignorance" yaitu ketidakpedulian seseorang terhadap budaya, suku, dan agama orang lain.
Ketidakpedulian itu mempunyai implikasi signifikan dalam kehidupan sosial dan kultural karena hal tersebut membentuk kesadaran masyarakat dalam menentukan jalan dalam mempersepsikan mereka dengan yang lain dalam wilayah kultural mereka.
Masalah lainnya adalah terdapat "kebutahurufan agama" atau yang disebut "Religious Iliteracy" yang merupakan kecenderungan untuk mengenali agama semata-mata dengan praktik kebaktian, seperti upacara, ritual, dan festival keagamaan.
Hal itu ditambah dengan kecenderungan melihat tindakan individu, masyarakat, dan bangsa secara eksklusif untuk agama tanpa mengetahui dasar agama tersebut melakukan hal itu.
Saat ini, menurut Sidi, "Religious Iliteracy" sudah menyebar. Hal itu merupakan wujud ketidakmampuan seseorang untuk memahami dan terlibat dengan perbedaan agama dan budaya dalam masyarakat multikultural saat ini.
Oleh karena itu, kata dia, penting melakukan dialog antaragama sebagai alternatif penyelesaian konflik pada era sekarang.
Sebagai seperangkat kepercayaan, standar moral, dan praktik ritual yang memandu sifat individu dan sosial, agama sangat berperan sebagai dimensi yang kuat bagi pengalaman hidup manusia.
Untuk itu, perlu mendalami dialog antaragama yang berkontribusi memecah kebuntuan di antara ketidakpedulian dan intoleransi sehingga menciptakan alternatif konstruktif untuk konflik multikultural.
Menurut dia, dialog antaragama mampu menyelesaikan konflik yang terjadi dalam masyarakat, khususnya masyarakat multikultural.
Dialog antaragama dapat memainkan peran penting dalam memfasilitasi interaksi yang konstruktif dan kolaboratif antara orang-orang yang berbeda agama untuk menghindari risiko pemahaman yang salah terhadap agama tertentu sertaa alasan di balik konflik dalam masyarakat multikultural.
Sidi mengatakan bahwa dialog antaragama harus secara terbuka dan inklusif untuk semua kalangan masyarakat.
Dialog antaragama, menurut dia, jangan dilakukan secara eksklusif oleh elite politik, agama, dan akademisi, tetapi juga dipahami dan dibawa secara terbuka yang libatkan masyarakat beragama yang lebih luas di semua level.
Kehidupan Damai
Direktur Dian Interfidei Elga J. Sarapung mengatakan bahwa dialog merupakan salah satu pilihan yang ideal untuk mengelola perbedaan.
Dalam dialog, masyarakat mengakui dan menerima perbedaan dan bersedia belajar tentang perbedaan itu. Dari perbedaan itulah muncul kebersamaan.
Menurut dia, ada tiga kekuatan dalam berdialog yang sehat, yakni diperlukan pikiran yang sehat, hati nurani yang tulus dan jujur, serta sikap bijaksana, terbuka, dan rendah hati.
Dalam dialog antaragama, menurut akademisi Martino Sardi, harus mempertimbangkan eksistensi kelompok sosial yang berbeda dalam ras, suku, kebangsaan, dan agama, yang membawa potensi persaingan dan konflik di antara mereka.
Masyarakat harus mampu mengatasi ketegangan antarkelompok dan potensi negatif melalui silaturahim dan komitmen untuk hidup bersama dalam damai dan keadilan. Dengan kata lain merespons keberagaman melalui perlibatan yang positif atau dialog.
Semua agama di dunia, kata Martino, memiliki doktrin perdamaian, tetapi terdapat pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan penyerangan yang didasarkan pada interpretasi doktrin agama, misalnya pelanggaran HAM seperti pembunuhan maupun genosida.
Ia mengatakan bahwa budaya perdamaian sebagai pendekatan yang menyeluruh untuk mencegah kekerasan dan konflik. Dalam pencegahan itu dapat melalui pendidikan perdamaian.
Dalam prespektif pendidikan perdamaian diperlukan saling toleransi antaragama sehingga memunculkan sikap kebersamaan. Pelaksanaannya juga perlu menghormati HAM, gender maupun partisipasi demokrasi.
Menurut dia, dunia saat ini bagaikan desa kecil dengan orang-orang maupun agama yang berbeda sehingga harus mampu hidup berdampingan sebagai bagian dari masyarakat global. Dalam konteks itu dialog antaragama dapat menanamkan kolaborasi dalam kehidupan yang lebih damai dan harmonis.
Akademisi dari International Islamic University of Malaysia Mohd Hisham Mohd Kamal mengatakan bahwa dialog antaragama merupakan konsep perdamaian yang bagus yang bisa dilakukan dalam rangka mewujudkan perdamaian dunia.
Hal itu karena dalam dialog antaragama tersebut, antarumat beragama dituntut untuk bisa saling memahami dan menghormati keyakinannya masing-masing.
Melalui dialog antaragama, menurut Hisyam, antarpenganut agama bisa saling memahami dan menghormati ajaran dan keyakinan agama lain. Dialog antaragama dilakukan oleh orang-orang dari agama yang berbeda yang bekerja sama dan berinteraksi untuk dapat menciptakan pemahaman yang sama dan saling menghormati.
Dialog itu diadakan dalam konteks individual, kelompok, dan institusional baik secara formal maupun informal. Dialog antaragama itu menjadi konsep yang bagus untuk menciptakan perdamaian.
Meskipun demikian, dialog antaragama harus dipersiapkan secara matang dan harus dijelaskan dengan baik dengan peserta. Peserta dialog harus menghormati pendapat peserta lain.
Ia mengatakan bahwa dialog antaragama bukan tempat untuk berdebat, menyerang, dan menyanggah agama yang lain. Setiap kelompok agama meyakini keyakinannya masing-masing sekaligus menghormati hak-hak agama lain untuk mempraktikkan keyakinannnya secara bebas.
Hal itu merupakan sebuah usaha untuk mengatasi atau mencegah ketegangan di antara kelompok-kelompok agama sehingga tercipta perdamaian di antara kelompok agama yang berbeda.
B015
Perubahan interaksi itu tidak hanya antarbudaya yang sama, tetapi juga budaya yang berbeda yang kemudian menyebabkan masyarakat multikultural.
Selain meningkatkan kekayaan dalam berbagai aspek, interaksi antarbudaya itu juga menghasilkan tensi, ketakutan, dan konflik antarmasyarakat.
Peneliti dari Universitate Jaime, Spanyol, Sidi M. Omar pada diskusi "Mahathir Global Peace School" di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) belum lama ini mengemukakan ada beberapa masalah yang terjadi dalam kehidupan multikultural di dunia saat ini.
Salah satunya adalah "Clash of Ignorance" yaitu ketidakpedulian seseorang terhadap budaya, suku, dan agama orang lain.
Ketidakpedulian itu mempunyai implikasi signifikan dalam kehidupan sosial dan kultural karena hal tersebut membentuk kesadaran masyarakat dalam menentukan jalan dalam mempersepsikan mereka dengan yang lain dalam wilayah kultural mereka.
Masalah lainnya adalah terdapat "kebutahurufan agama" atau yang disebut "Religious Iliteracy" yang merupakan kecenderungan untuk mengenali agama semata-mata dengan praktik kebaktian, seperti upacara, ritual, dan festival keagamaan.
Hal itu ditambah dengan kecenderungan melihat tindakan individu, masyarakat, dan bangsa secara eksklusif untuk agama tanpa mengetahui dasar agama tersebut melakukan hal itu.
Saat ini, menurut Sidi, "Religious Iliteracy" sudah menyebar. Hal itu merupakan wujud ketidakmampuan seseorang untuk memahami dan terlibat dengan perbedaan agama dan budaya dalam masyarakat multikultural saat ini.
Oleh karena itu, kata dia, penting melakukan dialog antaragama sebagai alternatif penyelesaian konflik pada era sekarang.
Sebagai seperangkat kepercayaan, standar moral, dan praktik ritual yang memandu sifat individu dan sosial, agama sangat berperan sebagai dimensi yang kuat bagi pengalaman hidup manusia.
Untuk itu, perlu mendalami dialog antaragama yang berkontribusi memecah kebuntuan di antara ketidakpedulian dan intoleransi sehingga menciptakan alternatif konstruktif untuk konflik multikultural.
Menurut dia, dialog antaragama mampu menyelesaikan konflik yang terjadi dalam masyarakat, khususnya masyarakat multikultural.
Dialog antaragama dapat memainkan peran penting dalam memfasilitasi interaksi yang konstruktif dan kolaboratif antara orang-orang yang berbeda agama untuk menghindari risiko pemahaman yang salah terhadap agama tertentu sertaa alasan di balik konflik dalam masyarakat multikultural.
Sidi mengatakan bahwa dialog antaragama harus secara terbuka dan inklusif untuk semua kalangan masyarakat.
Dialog antaragama, menurut dia, jangan dilakukan secara eksklusif oleh elite politik, agama, dan akademisi, tetapi juga dipahami dan dibawa secara terbuka yang libatkan masyarakat beragama yang lebih luas di semua level.
Kehidupan Damai
Direktur Dian Interfidei Elga J. Sarapung mengatakan bahwa dialog merupakan salah satu pilihan yang ideal untuk mengelola perbedaan.
Dalam dialog, masyarakat mengakui dan menerima perbedaan dan bersedia belajar tentang perbedaan itu. Dari perbedaan itulah muncul kebersamaan.
Menurut dia, ada tiga kekuatan dalam berdialog yang sehat, yakni diperlukan pikiran yang sehat, hati nurani yang tulus dan jujur, serta sikap bijaksana, terbuka, dan rendah hati.
Dalam dialog antaragama, menurut akademisi Martino Sardi, harus mempertimbangkan eksistensi kelompok sosial yang berbeda dalam ras, suku, kebangsaan, dan agama, yang membawa potensi persaingan dan konflik di antara mereka.
Masyarakat harus mampu mengatasi ketegangan antarkelompok dan potensi negatif melalui silaturahim dan komitmen untuk hidup bersama dalam damai dan keadilan. Dengan kata lain merespons keberagaman melalui perlibatan yang positif atau dialog.
Semua agama di dunia, kata Martino, memiliki doktrin perdamaian, tetapi terdapat pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan penyerangan yang didasarkan pada interpretasi doktrin agama, misalnya pelanggaran HAM seperti pembunuhan maupun genosida.
Ia mengatakan bahwa budaya perdamaian sebagai pendekatan yang menyeluruh untuk mencegah kekerasan dan konflik. Dalam pencegahan itu dapat melalui pendidikan perdamaian.
Dalam prespektif pendidikan perdamaian diperlukan saling toleransi antaragama sehingga memunculkan sikap kebersamaan. Pelaksanaannya juga perlu menghormati HAM, gender maupun partisipasi demokrasi.
Menurut dia, dunia saat ini bagaikan desa kecil dengan orang-orang maupun agama yang berbeda sehingga harus mampu hidup berdampingan sebagai bagian dari masyarakat global. Dalam konteks itu dialog antaragama dapat menanamkan kolaborasi dalam kehidupan yang lebih damai dan harmonis.
Akademisi dari International Islamic University of Malaysia Mohd Hisham Mohd Kamal mengatakan bahwa dialog antaragama merupakan konsep perdamaian yang bagus yang bisa dilakukan dalam rangka mewujudkan perdamaian dunia.
Hal itu karena dalam dialog antaragama tersebut, antarumat beragama dituntut untuk bisa saling memahami dan menghormati keyakinannya masing-masing.
Melalui dialog antaragama, menurut Hisyam, antarpenganut agama bisa saling memahami dan menghormati ajaran dan keyakinan agama lain. Dialog antaragama dilakukan oleh orang-orang dari agama yang berbeda yang bekerja sama dan berinteraksi untuk dapat menciptakan pemahaman yang sama dan saling menghormati.
Dialog itu diadakan dalam konteks individual, kelompok, dan institusional baik secara formal maupun informal. Dialog antaragama itu menjadi konsep yang bagus untuk menciptakan perdamaian.
Meskipun demikian, dialog antaragama harus dipersiapkan secara matang dan harus dijelaskan dengan baik dengan peserta. Peserta dialog harus menghormati pendapat peserta lain.
Ia mengatakan bahwa dialog antaragama bukan tempat untuk berdebat, menyerang, dan menyanggah agama yang lain. Setiap kelompok agama meyakini keyakinannya masing-masing sekaligus menghormati hak-hak agama lain untuk mempraktikkan keyakinannnya secara bebas.
Hal itu merupakan sebuah usaha untuk mengatasi atau mencegah ketegangan di antara kelompok-kelompok agama sehingga tercipta perdamaian di antara kelompok agama yang berbeda.
B015