Yogyakarta (ANTARA) - Di lantai ruang tamu yang tidak terlalu luas itu, duduk seorang laki-laki paruh baya yang terlihat cekatan memasang kain menyelubungi plastik mika yang sebelumnya sudah dipasang mengikuti rangka besi berbentuk serupa silinder.

Sesekali, tangannya membetulkan letak kacamatanya yang terpasang setengah melorot. Namun, mata dan tangan Pak Marlan sepertinya mampu bergerak otomatis agar kain terpasang dengan rapi pada plastik mika.

Ia pun menyelesaikan pekerjaan dengan memasukkan sisa kain ke sela-sela rangka besi dengan bantuan alat yang rupanya ia dIsain sendiri yaitu sendok kecil yang dibuat lebih lancip dan pipih.

“Sudah rapi dan kuat. Kain tidak akan mudah lepas. Nanti, tinggal dipasang di rangka lampu duduk atau lampu meja. Kap lampu ini pesanan dari ‘buyer’ di luar negeri,” katanya.

Warga Kelurahan Warungboto Kecamatan Umbulharjo Yogyakarta itu mengaku sudah menggeluti kerajinan pembuatan kap lampu sejak 1996. Produknya pun sudah dipasarkan ke beberapa negara di Asia Tenggara seperti Thailand.

“Kadang-kadang, juga melayani pesanan dari China dan Kanada. Pemasaran memang masih ikut sama orang. Jumlahnya tergantung pesanan, kadang 300 atau 500 buah. Biasanya tidak diberi tenggat waktu penyelesaian,” katanya.

Harga setiap kap lampu cukup bervariasi, mulai dari Rp60.000, Rp100.000, hingga Rp300.000 tergantung dari bahan dan tingkat kesulitan pembuatan.

“Kap lampu yang paling banyak dipesan adalah kap dari kain. Tetapi, kainnya tidak boleh sembarangan. Saya biasanya menggunakan kain dengan merk Nagata karena tebal dan mudah dibentuk,” katanya.

Meskipun demikian, Pak Marlan juga pernah menerima pesanan kap lampu dengan bahan lain yang cukup unik seperti koran, kertas, bahkan kulit kayu.

“Bahan-bahan itu masih mudah dibentuk. Yang paling sulit justru kap lampu dari kulit hewan karena sulit menempel di mika yang menjadi dasar rangka,” katanya.

Seluruh pesanan yang datang, dikerjakan sendiri oleh Pak Marlan di rumahnya yang berada di tidak jauh dari Sungai Gajah Wong itu. ”Dulu sempat ada yang bantu-bantu, tetapi kemudian saya memilih untuk mengerjakan sendiri saja,” katanya.

Tidak jauh dari tempat tinggal yang merangkap bengkel kerja Pak Marlan, kesibukan yang hampir sama juga terjadi di rumah Pak Wilopo. Ia tengah menyelesaikan pesanan kursi yang hendak dikirim ke Jerman.

“Sejak 2002 saya menerima pesanan kursi. Kebanyakan memenuhi pesanan suplier untuk diekspor ke negara-negara di Eropa seperti Jerman, Swiss, dan juga ke Amerika,” katanya.

Wilopo dibantu seorang rekan untuk menyelesaikan seluruh pesanan kursi agar bisa dikirim tepat waktu. Menurut dia, ketepatan waktu penyelesaian pesanan dan kualitas produk menjadi faktor yang harus dipenuhi agar pembeli tetap menaruh kepercayaan kepadanya di kemudian hari.

“Karena saya masih nge-sub (mengerjakan pesanan suplier), maka harus bisa menyelesaikan pesanan tepat waktu. Semua bahan yang dibutuhkan untuk membuat kursi berasal dari suplier,” katanya.

Setiap kursi yang ia buat, dihargai sekitar Rp150.000 hingga Rp250.000. Kali ini, ia harus menyelesaikan pesanan kursi kecil atau disebut stool dengan lapisan bulu sintetis berwarna putih. Rangka kursi berasal dari ranting kayu jati yang dikombinasikan dengan kayu putih yang lebih ringan.

“Desain sudah dari suplier. Saya tinggal mengerjakan saja sesuai pesanan. Jumlah kursi yang dikirim tidak boleh lebih atau kurang dari pesanan. Jika berlebih, kursi dengan desain ini tidak boleh dipasarkan sendiri,” katanya.

Sebelum bergelut dengan pembuatan kursi, Wilopo pernah bekerja membuat berbagai kerajinan dari kulit seperti tas, sabuk, dan dompet. Namun, karena kesulitan memasarkan produk, ia pun memutuskan banting stir ke furniture.

“Awalnya membuat jok kursi dengan kulit sapi, terus beralih ke bahan kulit sintetis yang lebih mudah dibentuk dan mencoba-coba bahan lain seperti vynil. Pemasaran lebih bagus sehingga bertahan sampai sekarang,” katanya.

Ia pun pernah mencoba memasarkan produknya sendiri melalui jalur daring. Bahkan pernah mendapat pesanan dari Belanda. Meski sedikit mengalami kendala bahasa —pembeli berkomunikasi dengan Bahasa Inggris— namun pesanan bisa dipenuhi.

Hanya saja, kualitas pesanan yang dikirim tidak sesuai dengan keinginan pembeli. “Pembeli hanya memberi waktu sekitar satu pekan untuk menyelesaikan pesanan. Kayu untuk rangka kursi bahkan belum sempat di-oven sehingga produk berjamur saat sampai di tujuan,” katanya.

Ia pun memutuskan untuk tidak meneruskan pesanan secara daring dan lebih memilih mengerjakan pesanan dari suplier untuk kebutuhan ekspor. Saat ini, ia bergabung dengan salah satu perusahaan yang berlokasi di Bantul.

“Dalam sehari, saya bisa menyelesaikan sekitar 30 sampai 50 kursi. Khusus untuk memasang jok atau ‘cover-nya’ saja,” katanya yang berharap pesanan kursi kembali marak seperti beberapa tahun lalu.

Potensi wilayah

Lurah Warungboto Agus Supratikno potensi yang dimiliki kelurahan yang dipimpinnya sangat beragam dan perlu terus diangkat supaya lebih banyak diketahui publik. “Harapannya, ada bantuan promosi dan permodalan guna mengembangkan usaha,” katanya.

Ia pun mendukung program Dodolan Kampung yang digagas Pemerintah Kota Yogyakarta untuk mengangkat potensi wilayah.

Program Dodolan Kampung memiliki tiga arti yaitu “do dolan neng kampung” atau bermain ke kampung, mengenalkan kampung ke publik dan menghidupkan kampung untuk sarana silaturahmi.

Program tersebut juga memiliki arti menjual seluruh potensi yang dimiliki kampung, baik berupa produk UKM maupun potensi wisata sehingga memacu kreativitas warga di kampung tersebut.

Arti lain dari program itu adalah “Ngedol Kampung” yaitu membuat branding untuk setiap kampung sehingga menarik banyak pihak untuk berpartisipasi mendorong keberdayaan kampung. Saat ini program Dodolan Kampung sudah dijalankan di 18 dari 45 kelurahan di Kota Yogyakarta.


Pewarta : Eka Arifa Rusqiyati
Editor : Bambang Sutopo Hadi
Copyright © ANTARA 2024