Sleman (ANTARA) - Komunitas pecinta satwa "Kampung Satwa" Yogyakarta menyebutkan bahwa membersihkan rumah secara rutin dapat meminimalisir masuknya ular termasuk jenis ular Kobra ke area tempat tinggal.
"Upaya untuk menghindari masuknya ular, termasuk Kobra ke rumah-rumah, dapat dilakukan dengan membersihkan area rumah secara rutin," kata Sekretaris Kampung Satwa Hanif Kurniawan di Yogyakarta, Minggu.
Menurut dia, pada bulan Oktober hingga Januari memang merupakan musim tetas reptil.
"Jadi fenomena kemunculan anak ular di beberapa daerah ini sebenarnya hal yang wajar," katanya.
Ia mengatakan, kemunculan ular kobra di permukiman itu karena dulunya sebelum menjadi kawasan perumahan, lokasi tersebut merupakan habitat asli kobra. Apalagi kawasan perumahan itu dulunya sawah yang banyak ditumbuhi pepohonan.
"Jadi memang habitatnya di situ dan ini jadi indikator jika alamnya bagus," katanya.
Hanif mengatakan, jika ditemukan kobra di area rumah, agar diusir menggunakan sapu.
"Sebisa mungkin jangan sampai dibunuh," katanya.
Ia mengatakan, untuk penanganan pertama gigitan kobra, disarankan agar sesuai standar WHO. Yakni dengan cara imobilisasi atau membuat bagian tubuh yang digigit ular itu tidak bergerak.
"Cara termudah dengan menggunakan dua bilah kayu, bambu atau kardus serta bahan-bahan lain yang bersifat rigid atau kaku," katanya.
Ada dua metode imobilisasi, yakni metode imobilisasi dengan "elastic band" atau perban elastis. Metode ini khusus untuk kasus gigitan ular dengan bisa neurotoksin yang kuat.
"Imobilisasi untuk neurotoksin yang sifatnya cepat menyebabkan gagal napas dan gagal jantung dengan hitungan detik hingga menit, disarankan menggunakan elastic band," katanya.
Ia mengatakan, metode perban elastis harus dilakukan dengan tenaga terlatih seperti perawat.
"Artinya, tindakan ini tidak disarankan untuk dilakukan oleh masyarakat awam. Imobilisasi dilakukan dalam kurun waktu 24 jam sampai 48 jam," katanya.
Selanjutnya, ada metode imobilisasi yang tidak menggunakan elastic band. Menurutnya, metode ini digunakan untuk menangani pasien-pasien yang tergigit ular yang sifatnya hematotoksin sehingga menyebabkan pembengkakan.
"Kalau diperban elastis justru membuat kondisinya lebih jelek. Contohnya saat digigit ular tanah, ular kobra, king kobra. Itu bengkak dan menimbulkan sebuah pembengkakan atau nekrosis. Meskipun kobra dan king kobra sebenarnya juga ada sifat neurotoksinnya. Tetapi karena ada pembekakan, jadi tidak bisa menggunakan perban elastis," katanya.
Setelah dilakukan penanganan awal tersebut, agar korban segera dilarikan ke rumah sakit.
"Namun, agar dokter juga tidak sembarangan dalam memberi antibisa. Kalau penangananannga tidak benar, korban justru tidak bisa terselamatkan," katanya.
Inspektur Pemadam Kebakaran Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kabupaten Sleman Heru Sapto Priyono mencatat dalam kurun waktu tiga bulan terakhir sudah ada lebih dari tujuh ekor ular kobra yang diamankan. Ada yang masih anakan kobra, ada juga yang sudah berukuran satu meter lebih.
"Ular kobra tersebut ada yang kembali dilepasliarkan, ada juga yang terpaksa dibunuh. Karena dianggap sudah membahayakan kalau dilepaskan," katanya.
Ia mengatakan, pelepasliaran kobra yakni yang masih berupa anakan kobra. Lokasi pelepasliarannya juga di areal persawahan yang jauh dari rumah warga.
"Selain itu, pertimbangannya yakni di lokasi persawahan yang banyak tikusnya. Lokasinya sudah disurvei teman-teman dan pasti aman," katanya.
Heru mengatakan lokasi yang sering ditemukan ular kobra yakni di kompleks perumahan yang berdekatan dengan sawah atau sungai. Dari kejadian di Ngemplak, Sleman, dan Godean beberapa waktu yang lalu selain di kompleks perumahan juga ada yang masuk kantor.
"Hingga saat ini belum ada korban gigitan. Yang di Ngemplak kemarin anakan kobra bersembunyi di sepatu anak. Hampir kegigit tapi anaknya langsung lari. Lokasinya di Puri Domas," katanya.
Menurut dia, fenomena ular kobra ini baru terjadi pada 2019. Tahun lalu, pihaknya kebanyakan melakukan evakuasi untuk ular piton. Sehingga belum banyak personel yang tangkas dalam menangani ular berbisa.
"Untuk saat ini kami baru melakukan pelatihan-pelatihan," katanya.
"Upaya untuk menghindari masuknya ular, termasuk Kobra ke rumah-rumah, dapat dilakukan dengan membersihkan area rumah secara rutin," kata Sekretaris Kampung Satwa Hanif Kurniawan di Yogyakarta, Minggu.
Menurut dia, pada bulan Oktober hingga Januari memang merupakan musim tetas reptil.
"Jadi fenomena kemunculan anak ular di beberapa daerah ini sebenarnya hal yang wajar," katanya.
Ia mengatakan, kemunculan ular kobra di permukiman itu karena dulunya sebelum menjadi kawasan perumahan, lokasi tersebut merupakan habitat asli kobra. Apalagi kawasan perumahan itu dulunya sawah yang banyak ditumbuhi pepohonan.
"Jadi memang habitatnya di situ dan ini jadi indikator jika alamnya bagus," katanya.
Hanif mengatakan, jika ditemukan kobra di area rumah, agar diusir menggunakan sapu.
"Sebisa mungkin jangan sampai dibunuh," katanya.
Ia mengatakan, untuk penanganan pertama gigitan kobra, disarankan agar sesuai standar WHO. Yakni dengan cara imobilisasi atau membuat bagian tubuh yang digigit ular itu tidak bergerak.
"Cara termudah dengan menggunakan dua bilah kayu, bambu atau kardus serta bahan-bahan lain yang bersifat rigid atau kaku," katanya.
Ada dua metode imobilisasi, yakni metode imobilisasi dengan "elastic band" atau perban elastis. Metode ini khusus untuk kasus gigitan ular dengan bisa neurotoksin yang kuat.
"Imobilisasi untuk neurotoksin yang sifatnya cepat menyebabkan gagal napas dan gagal jantung dengan hitungan detik hingga menit, disarankan menggunakan elastic band," katanya.
Ia mengatakan, metode perban elastis harus dilakukan dengan tenaga terlatih seperti perawat.
"Artinya, tindakan ini tidak disarankan untuk dilakukan oleh masyarakat awam. Imobilisasi dilakukan dalam kurun waktu 24 jam sampai 48 jam," katanya.
Selanjutnya, ada metode imobilisasi yang tidak menggunakan elastic band. Menurutnya, metode ini digunakan untuk menangani pasien-pasien yang tergigit ular yang sifatnya hematotoksin sehingga menyebabkan pembengkakan.
"Kalau diperban elastis justru membuat kondisinya lebih jelek. Contohnya saat digigit ular tanah, ular kobra, king kobra. Itu bengkak dan menimbulkan sebuah pembengkakan atau nekrosis. Meskipun kobra dan king kobra sebenarnya juga ada sifat neurotoksinnya. Tetapi karena ada pembekakan, jadi tidak bisa menggunakan perban elastis," katanya.
Setelah dilakukan penanganan awal tersebut, agar korban segera dilarikan ke rumah sakit.
"Namun, agar dokter juga tidak sembarangan dalam memberi antibisa. Kalau penangananannga tidak benar, korban justru tidak bisa terselamatkan," katanya.
Inspektur Pemadam Kebakaran Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kabupaten Sleman Heru Sapto Priyono mencatat dalam kurun waktu tiga bulan terakhir sudah ada lebih dari tujuh ekor ular kobra yang diamankan. Ada yang masih anakan kobra, ada juga yang sudah berukuran satu meter lebih.
"Ular kobra tersebut ada yang kembali dilepasliarkan, ada juga yang terpaksa dibunuh. Karena dianggap sudah membahayakan kalau dilepaskan," katanya.
Ia mengatakan, pelepasliaran kobra yakni yang masih berupa anakan kobra. Lokasi pelepasliarannya juga di areal persawahan yang jauh dari rumah warga.
"Selain itu, pertimbangannya yakni di lokasi persawahan yang banyak tikusnya. Lokasinya sudah disurvei teman-teman dan pasti aman," katanya.
Heru mengatakan lokasi yang sering ditemukan ular kobra yakni di kompleks perumahan yang berdekatan dengan sawah atau sungai. Dari kejadian di Ngemplak, Sleman, dan Godean beberapa waktu yang lalu selain di kompleks perumahan juga ada yang masuk kantor.
"Hingga saat ini belum ada korban gigitan. Yang di Ngemplak kemarin anakan kobra bersembunyi di sepatu anak. Hampir kegigit tapi anaknya langsung lari. Lokasinya di Puri Domas," katanya.
Menurut dia, fenomena ular kobra ini baru terjadi pada 2019. Tahun lalu, pihaknya kebanyakan melakukan evakuasi untuk ular piton. Sehingga belum banyak personel yang tangkas dalam menangani ular berbisa.
"Untuk saat ini kami baru melakukan pelatihan-pelatihan," katanya.