Jakarta (ANTARA) - Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia (IGI) Muhammad Ramli Rahim mengatakan perlu adanya standar penugasan oleh guru selama pelaksanaan pendidikan jarak jauh (PJJ).
"Selama ini standar penugasan oleh guru juga tidak diatur, baik oleh Kemendikbud, dinas pendidikan provinsi maupun dinas pendidikan kabupaten/kota. Padahal standar penugasan itu penting dilakukan agar tidak memberikan tugas pada setiap mata pelajaran," ujar Ramli dalam keterangannya di Jakarta, Senin.
Dia menambahkan jika setiap guru memberikan satu saja tugas setiap minggu, maka setiap siswa akan mendapatkan 14 hingga 16 tugas yang harus dituntaskan, sebelum mata pelajaran dilanjutkan minggu depannya.
"Dengan PJJ ini, memang guru sangat mudah memberikan tugas, apalagi mereka saat ini dengan dukungan sistem manajemen pembelajaran (LMS) dan tak perlu tampil di depan kelas lagi dan cukup memberikan tugas lewat LMS yang ada, tetapi mereka tidak memperhitungkan secara komprehensif beban tugas yang diberikan ke siswa tersebut," ujar dia.
Dia meminta agar Kemendikbud tidak tinggal diam atas insiden bunuh diri yang menewaskan siswi SMA di Gowa, Sulawesi Selatan, berinisial MI. Siswa berusia 16 tahun nekat bunuh diri dengan meminum racun, Sabtu (17/10).
Korban bunuh diri diduga akibat depresi dengan banyaknya tugas-tugas daring dari sekolahnya. Korban kerap bercerita pada teman-temannya perihal sulitnya akses internet di kampung, sulitnya akses internet di kediamannya menyebabkan tugas-tugas daringnya menumpuk.
"Kami sejak awal sudah meminta pemerintah pusat dan menyampaikan langsung ke Mendikbud Nadiem Makarim bahwa beban mata pelajaran yang dialami oleh siswa sesungguhnya, menjadi masalah utama rendahnya kualitas pendidikan kita. Namun hingga saat ini upaya penyederhanaan kurikulum tampaknya masih mengalami jalan buntu," kata dia.
Kejadian bunuh diri oleh siswa di Kabupaten Gowa, lanjut dia, seharusnya menjadi peringatan pada pemerintah bahwa masalah penugasan itu adalah sesuatu yang sangat serius memberikan dampak depresi kepada siswa.
Seharusnya, menurut dia, kepala sekolah dan para guru konseling mampu mengetahui dan mengukur beban yang dialami oleh siswa akibat banyaknya penugasan penugasan yang dilakukan oleh para guru di suatu sekolah terhadap satu siswa sehingga bisa menjadi standar bagi guru-guru di sekolah tersebut untuk memberikan penugasan kepada siswanya.
Setiap daerah, kata dia, seharusnya mempertimbangkan kemampuan jaringan internet di daerahnya, ketersediaan alat, baik berupa tablet smartphone maupun laptop dan komputer di daerah tersebut yang dimiliki oleh siswanya kemudian mempertimbangkan kemampuan ekonomi siswa di daerah-daerah tersebut, sehingga pemerintah tidak berlepas tangan cukup dengan memberikan kuota data kepada siswa, tetapi memahami secara penuh suasana dan kondisi pembelajaran pada masa pandemi COVID-19.
"Semua itu seharusnya diatur dan dibuat standarnya oleh Kemendikbud," kata dia.
"Selama ini standar penugasan oleh guru juga tidak diatur, baik oleh Kemendikbud, dinas pendidikan provinsi maupun dinas pendidikan kabupaten/kota. Padahal standar penugasan itu penting dilakukan agar tidak memberikan tugas pada setiap mata pelajaran," ujar Ramli dalam keterangannya di Jakarta, Senin.
Dia menambahkan jika setiap guru memberikan satu saja tugas setiap minggu, maka setiap siswa akan mendapatkan 14 hingga 16 tugas yang harus dituntaskan, sebelum mata pelajaran dilanjutkan minggu depannya.
"Dengan PJJ ini, memang guru sangat mudah memberikan tugas, apalagi mereka saat ini dengan dukungan sistem manajemen pembelajaran (LMS) dan tak perlu tampil di depan kelas lagi dan cukup memberikan tugas lewat LMS yang ada, tetapi mereka tidak memperhitungkan secara komprehensif beban tugas yang diberikan ke siswa tersebut," ujar dia.
Dia meminta agar Kemendikbud tidak tinggal diam atas insiden bunuh diri yang menewaskan siswi SMA di Gowa, Sulawesi Selatan, berinisial MI. Siswa berusia 16 tahun nekat bunuh diri dengan meminum racun, Sabtu (17/10).
Korban bunuh diri diduga akibat depresi dengan banyaknya tugas-tugas daring dari sekolahnya. Korban kerap bercerita pada teman-temannya perihal sulitnya akses internet di kampung, sulitnya akses internet di kediamannya menyebabkan tugas-tugas daringnya menumpuk.
"Kami sejak awal sudah meminta pemerintah pusat dan menyampaikan langsung ke Mendikbud Nadiem Makarim bahwa beban mata pelajaran yang dialami oleh siswa sesungguhnya, menjadi masalah utama rendahnya kualitas pendidikan kita. Namun hingga saat ini upaya penyederhanaan kurikulum tampaknya masih mengalami jalan buntu," kata dia.
Kejadian bunuh diri oleh siswa di Kabupaten Gowa, lanjut dia, seharusnya menjadi peringatan pada pemerintah bahwa masalah penugasan itu adalah sesuatu yang sangat serius memberikan dampak depresi kepada siswa.
Seharusnya, menurut dia, kepala sekolah dan para guru konseling mampu mengetahui dan mengukur beban yang dialami oleh siswa akibat banyaknya penugasan penugasan yang dilakukan oleh para guru di suatu sekolah terhadap satu siswa sehingga bisa menjadi standar bagi guru-guru di sekolah tersebut untuk memberikan penugasan kepada siswanya.
Setiap daerah, kata dia, seharusnya mempertimbangkan kemampuan jaringan internet di daerahnya, ketersediaan alat, baik berupa tablet smartphone maupun laptop dan komputer di daerah tersebut yang dimiliki oleh siswanya kemudian mempertimbangkan kemampuan ekonomi siswa di daerah-daerah tersebut, sehingga pemerintah tidak berlepas tangan cukup dengan memberikan kuota data kepada siswa, tetapi memahami secara penuh suasana dan kondisi pembelajaran pada masa pandemi COVID-19.
"Semua itu seharusnya diatur dan dibuat standarnya oleh Kemendikbud," kata dia.