Yogyakarta (ANTARA) - Pengusaha keramik Francisca Puspitasari menyadari bahwa mengembangkan bisnis di era digital seperti sekarang ini sama sekali berbeda dengan zaman dahulu yang idealnya harus memiliki toko sendiri di lokasi strategis tepi jalan raya  untuk menjajakan produk..

Jika harus mengikuti patokan tersebut, barangkali sulit bagi Francisca yang masuk kategori usaha mikro, kecil, dan menengah ini  untuk mewujudkan impian mengembangkan bisnis tableware atau perangkat makan keramik yang kini telah merambah pasar internasional dengan merek  "Kaloka Pottery"

"Kaloka Pottery" bukanlah bisnis yang tiba-tiba besar karena sokongan modal finansial kuat. Bisnis produk rumahan itu, dirintis Kika sapaan akrab Francisca,dari bawah pada 2016 tanpa modal memadai, apalagi memiliki studio pembuatan keramik sendiri.Tanpa uang mencukupi, satu-satunya yang bisa dilakukan kala itu adalah membuat desain produk. 

Berbekal ilmu yang diperoleh semasa kuliah di Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, desain yang sudah jadi kemudian disetor ke studio pembuatan keramik milik orang lain. 

Hasilnya memang tidak langsung dijual karena hanya bisa memesan beberapa buah, namun tableware yang didesain sendiri itu dimanfaatkan sebagai sampel yang kemudian fotonya diunggah di media sosial.

Kika mengaku memilih instagram karena merupakan salah satu media sosial yang gratis dan bisa diakses siapa pun. Meski bukan seorang millenial, dirinya merasa wajib mencoba memanfaatkan sarana digital itu. 

Namun saat itu uangnya tidak cukup jika harus digunakan membayar pembuatan website atau laman bisnis sendiri. Alih-alih membuat website, dananya hanya cukup untuk memesan beberapa sampel produk alat makan.

Selain mengunggah sampel produk di instagram, ia juga menebar jala bisnisnya dengan menawarkan langsung kepada beberapa kolega dengan katalog sederhana yang ia buat sendiri. Meski tidak banyak, setidaknya Kika sudah mulai mendapatkan pesanan.

Kendati sudah menerima beberapa pesanan, bisnis yang dirintis tidak bisa melaju kencang karena kecepatan produksi masih bergantung dengan studio pembuatan keramik milik pihak ketiga.

Dengan modal yang belum memadai, ia memberanikan diri mengambil risiko mencoba membuat studio sendiri di kediamannya di Gang Bausasran, Danurejan, Kota Yogyakarta. Beruntung, banyak teman-temannya yang menawarkan bantuan yang salah satunya bersedia membuatkan tungku pembakaran keramik meski dibayar dengan cara dicicil.

Setelah memiliki studio pembuatan keramik sendiri, bisnisnya tak lantas melaju pesat. Sebaliknya, justru ia dirundung kegalauan karena banyak keramik yang menurutnya tidak sempurna karena gagal dalam proses pembakaran, sementara modal yang ia keluarkan sudah cukup banyak.

Sosial media sebagai gerbang besar

Di tengah kegalauannya itu, Kika mendapatkan kejutan yang tidak pernah disangka sebelumnya. Instagram yang belum diposisikan sebagai sarana promosi utama, justru mampu mendatangkan pembeli dari Qatar yang hanya mengamati foto-foto sampel yang diunggah.

Tidak tanggung-tanggung, pembeli asal Timur Tengah itu langsung menelepon dan memesan 3.000 tableware atau perangkat makan dari keramik mulai dari piring, gelas, hingga mangkuk.
  Salah satu produk brand tableware "Kaloka Pottery". (ANTARA/HO/instagram Kaloka Pottery)

Kika tidak menyangka media sosial mampu membuat pelanggan asal Qatar langsung percaya walaupun sama sekali belum pernah bertemu atau mengenalnya.

Sejak pemesanan dari Qatar itu, Kika mulai kebanjiran pesanan dari beberapa negara di Timur Tengah. Bahkan, berkat media sosial instagram yang kini memiliki 99,200 pengikut itu, Kika mendapatkan pesanan dari pelanggan asal Eropa dan Amerika Serikat.

Menurut dia, pesanan tidak selalu datang dari para pengikut atau followers di Instagram. Pesanan atang dari pengguna lain yang melakukan pencarian produk melalui hashtag atau tagar tertentu.

Sadar dengan kekuatan pemasaran secara daring, ia kemudian terus menggencarkan dan menyempurnakan upaya promosi melalui Instagram, di antaranya dengan mengunggah foto-foto produk dengan kualitas visual yang bagus.

Pada 2019, ia yang mampu memproduksi hingga puluhan ribu jenis  perangkat makan per bulan ini mendapatkan kehormatan dari instagram sebagai satu-satunya pemilik akun dari Asia yang berhasil memanfaatkan instagram sebagai sarana pengembangan bisnis.

"Jadi media sosial ini seperti warung tapi pembelinya dari berbagai negara," kata Kika yang kini memiliki 40 staf dan memberdayakan puluhan pengrajin di beberapa desa ini.

Keberhasilan UMKM tembus pasar mancanegara tak terlepas dari peran Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang mendorong seluruh pelaku usaha, mikro, kecil, dan menengah setempat agar "go online" untuk mampu bersaing di pasar global.

Kepala Bidang Pembiayaan Dinas Koperasi dan UKM DIY Agus Mulyono mengatakan kampanye "go online" akan terus digencarkan kepada pelaku UMKM karena pemasaran produk secara "online" atau daring akan membuat tren penjualan UMKM meningkat.

Agus menilai pemasaran secara daring lebih efektif menjangkau dan menarik konsumen daripada secara tradisional. Apalagi, pada era digital saat ini rata-rata pelaku UKM di negara lain juga telah menggunakan sarana berbasis teknologi digital untuk memesan maupun memasarkan produk.

 

Pewarta : Luqman Hakim
Editor : Herry Soebanto
Copyright © ANTARA 2024