Yogyakarta (ANTARA) - Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X menilai wilayahnya belum perlu menetapkan status Kejadian Luar Biasa (KLB) atas kasus antraks yang muncul di Kabupaten Sleman dan Gunungkidul.
"Saya kira belum perlu, kecuali kalau memang ada dasar berkembangnya penyakit. Kalau tidak kan (penanganan) bisa terlokalisasi, malah lebih baik," ujar Sultan HB X dikutip dari laman resmi Pemda DIY di Yogyakarta, Jumat.
Menurut Sultan, status KLB belum diperlukan meski jika dibandingkan dengan kasus antraks sebelumnya, kasus yang terjadi tahun ini hanya berjarak dalam hitungan bulan.
Dia berharap penanganan yang sudah dijalankan bisa menyelesaikan kasus yang ada.
Raja Keraton Yogyakarta itu mengaku heran praktik "brandu" atau menyembelih hewan ternak yang sudah mati terus berulang sehingga kembali muncul kasus antraks di Sleman dan Gunungkidul.
"Saya itu herannya di situ. Makanya saya tadi ngasih catatan ke Dinas Kesehatan sama (Dinas) Pertanian, kenapa (perilaku masyarakat itu) selalu berulang begitu. Mungkin perlu literasi yang baik kepada masyarakat peternak, bagaimana menjaga ternak dan dirinya agar antraks tidak terulang," kata dia.
Sri Sultan pun berpesan bagi para peternak untuk selalu berhati-hati dan mampu mengenali kondisi hewan ternaknya, dengan mengobati apabila diketahui sakit.
"Masa peternak sapi tidak paham kalau sapinya nglentur, diam saja, lemas, tidak curiga kan tidak mungkin. Mestinya ya diobati, jangan mati malah dipotong karena sayang, lha yo piye," kata dia.
Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan (DPKP) DIY Hery Sulistio Hermawan mengatakan Pemda DIY perlu melakukan intervensi perilaku, khususnya terhadap praktik "purak" atau "brandu" ternak sakit atau mati.
Intervensi tersebut bertujuan meningkatkan efektivitas Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE) kepada masyarakat dan pemilik ternak serta dapat mengalokasikan anggaran untuk semenisasi lokasi yang tercemar antraks.
"Intervensi perilaku dan peningkatan KIE ini untuk mencegah terjadinya pemotongan hewan sakit, mati atau 'brandu'," kata dia.
Bersama seluruh pejabat otoritas veteriner, DPKP DIY telah menyusun zonasi pengendalian antraks dan ditetapkan oleh masing-masing kepala dinas kabupaten/kota.
DPKP DIY, ujar Hery, telah melakukan pendataan populasi ternak, sarana prasarana logistik, seperti obat-obatan, vitamin, vaksin dan desinfektan, sumber daya untuk menangani kasus yang sudah terjadi di Sleman dan Gunungkidul.
Selain itu, pihaknya juga berupaya menyediakan sumber daya untuk memaksimalkan pengobatan pada ternak, pelaksanaan vaksinasi, termasuk pengendalian lalu lintas hewan.
Sementara itu, berdasarkan hasil investigasi Dinas Kesehatan DIY, kasus suspek antraks di Kabupaten Sleman dalam periode 8-12 Maret 2024 berjumlah 26 kasus, dengan kasus suspek meninggal 1 kasus. Sedangkan di Kabupaten Gunungkidul terdeteksi 19 kasus dalam periode yang sama, di mana dua suspek di antaranya masih menjalani rawat inap.
"Total suspek antraks ada 46 kasus. Untuk satu kasus suspek meninggal, belum terambil sampel dan belum dilakukan audit penyebab kematian," ungkap Kepala Dinas Kesehatan DIY Pembajun Setyaningastutie.
Pembajun mengungkapkan penanganan kasus suspek antraks ini dilakukan melalui penyelidikan epidemiologi di kedua kabupaten dan dilakukan pengambilan sampel pada yang bergejala.
Selanjutnya, dilakukan pula pengobatan pada suspek antraks atau orang yang bergejala mengarah ke penyakit antraks dan memiliki riwayat mengonsumsi daging hewan sakit atau mati mendadak.
"Kami juga melakukan pemberian profilaksis atau obat pencegahan kepada mereka yang terpapar atau tidak bergejala tetapi memiliki riwayat mengonsumsi daging hewan sakit atau mati mendadak," ujar dia.
Edukasi kepada masyarakat terdampak, terutama kepada tokoh masyarakat, kata Pembajun, juga terus dilakukan oleh puskesmas dan dinas kesehatan di Kabupaten Sleman dan Gunungkidul dengan harapan terjadi perubahan perilaku dengan meninggalkan prakrik "brandu".
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Sultan HB X: DIY belum perlu tetapkan KLB antraks
"Saya kira belum perlu, kecuali kalau memang ada dasar berkembangnya penyakit. Kalau tidak kan (penanganan) bisa terlokalisasi, malah lebih baik," ujar Sultan HB X dikutip dari laman resmi Pemda DIY di Yogyakarta, Jumat.
Menurut Sultan, status KLB belum diperlukan meski jika dibandingkan dengan kasus antraks sebelumnya, kasus yang terjadi tahun ini hanya berjarak dalam hitungan bulan.
Dia berharap penanganan yang sudah dijalankan bisa menyelesaikan kasus yang ada.
Raja Keraton Yogyakarta itu mengaku heran praktik "brandu" atau menyembelih hewan ternak yang sudah mati terus berulang sehingga kembali muncul kasus antraks di Sleman dan Gunungkidul.
"Saya itu herannya di situ. Makanya saya tadi ngasih catatan ke Dinas Kesehatan sama (Dinas) Pertanian, kenapa (perilaku masyarakat itu) selalu berulang begitu. Mungkin perlu literasi yang baik kepada masyarakat peternak, bagaimana menjaga ternak dan dirinya agar antraks tidak terulang," kata dia.
Sri Sultan pun berpesan bagi para peternak untuk selalu berhati-hati dan mampu mengenali kondisi hewan ternaknya, dengan mengobati apabila diketahui sakit.
"Masa peternak sapi tidak paham kalau sapinya nglentur, diam saja, lemas, tidak curiga kan tidak mungkin. Mestinya ya diobati, jangan mati malah dipotong karena sayang, lha yo piye," kata dia.
Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan (DPKP) DIY Hery Sulistio Hermawan mengatakan Pemda DIY perlu melakukan intervensi perilaku, khususnya terhadap praktik "purak" atau "brandu" ternak sakit atau mati.
Intervensi tersebut bertujuan meningkatkan efektivitas Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE) kepada masyarakat dan pemilik ternak serta dapat mengalokasikan anggaran untuk semenisasi lokasi yang tercemar antraks.
"Intervensi perilaku dan peningkatan KIE ini untuk mencegah terjadinya pemotongan hewan sakit, mati atau 'brandu'," kata dia.
Bersama seluruh pejabat otoritas veteriner, DPKP DIY telah menyusun zonasi pengendalian antraks dan ditetapkan oleh masing-masing kepala dinas kabupaten/kota.
DPKP DIY, ujar Hery, telah melakukan pendataan populasi ternak, sarana prasarana logistik, seperti obat-obatan, vitamin, vaksin dan desinfektan, sumber daya untuk menangani kasus yang sudah terjadi di Sleman dan Gunungkidul.
Selain itu, pihaknya juga berupaya menyediakan sumber daya untuk memaksimalkan pengobatan pada ternak, pelaksanaan vaksinasi, termasuk pengendalian lalu lintas hewan.
Sementara itu, berdasarkan hasil investigasi Dinas Kesehatan DIY, kasus suspek antraks di Kabupaten Sleman dalam periode 8-12 Maret 2024 berjumlah 26 kasus, dengan kasus suspek meninggal 1 kasus. Sedangkan di Kabupaten Gunungkidul terdeteksi 19 kasus dalam periode yang sama, di mana dua suspek di antaranya masih menjalani rawat inap.
"Total suspek antraks ada 46 kasus. Untuk satu kasus suspek meninggal, belum terambil sampel dan belum dilakukan audit penyebab kematian," ungkap Kepala Dinas Kesehatan DIY Pembajun Setyaningastutie.
Pembajun mengungkapkan penanganan kasus suspek antraks ini dilakukan melalui penyelidikan epidemiologi di kedua kabupaten dan dilakukan pengambilan sampel pada yang bergejala.
Selanjutnya, dilakukan pula pengobatan pada suspek antraks atau orang yang bergejala mengarah ke penyakit antraks dan memiliki riwayat mengonsumsi daging hewan sakit atau mati mendadak.
"Kami juga melakukan pemberian profilaksis atau obat pencegahan kepada mereka yang terpapar atau tidak bergejala tetapi memiliki riwayat mengonsumsi daging hewan sakit atau mati mendadak," ujar dia.
Edukasi kepada masyarakat terdampak, terutama kepada tokoh masyarakat, kata Pembajun, juga terus dilakukan oleh puskesmas dan dinas kesehatan di Kabupaten Sleman dan Gunungkidul dengan harapan terjadi perubahan perilaku dengan meninggalkan prakrik "brandu".
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Sultan HB X: DIY belum perlu tetapkan KLB antraks