Yogyakarta, 3/8 (Antara) - Dinas Kelautan dan Perikanan Daerah Istimewa Yogyakarta berencana mengembangkan tambak garam menggunakan teknologi geomembran "high density polyethylene" karena dinilai lebih efisien dan menguntungkan untuk produksi garam.
"Akan kami coba dengan teknologi geomembran karena kualitas maupun kuantitas garam yang dihasilkan bisa lebih bagus," kata Kepala Bidang Perikanan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) DIY Suwarman Partosuwiryo di Yogyakarta, Kamis.
Geomembran "High Density Polyethylene" (HDPE) merupakan lapisan kedap air yang dihamparkan pada lahan garam yang tahan air, korosi, minyak, asam, dan panas tinggi. Geomembran, menurut Suwarman, banyak digunakan di berbagai daerah penghasil garam seperti di Kabupaten Pamekasan, Jawa Timur.
Selain mampu menghasilkan garam dengan kualitas yang baik, menurut dia, penggunaan lapisan dengan geomembran lebih efisien dibandingkan dengan membuat petakan permanen dari beton karena sewaktu-waktu bisa dilipat apabila tidak digunakan.
"Kita membuat garam kan tergantung sinar matahari, sehingga kalau saat musim hujan geomembran bisa dilipat dan disimpan," kata dia.
Berdasarkan rencana yang telah disampaikan ke Gubernur DIY, produksi garam dengan geomembran akan diterapkan di pesisir pantai Kabupaten Gunung Kidul, Kulon Progo, dan Bantul. Untuk tahap awal, masing-masing kabupaten akan dibuatkan empat petak lahan garam dengan ukuran 4x6 meter per petak menggunakan tanah Sultan Ground (SG) dan Pakualaman Ground (PAG) khusus untuk di Kulon Progo.
"Karena di DIY tidak bisa mengandalkan pasang surut air laut, maka untuk pengambilan air laut sebagai bahan baku garam akan menggunakan pompa atau timba," kata dia.
Dengan anggaran Rp2.200.000 untuk pembuatan per empat petak garam, menurut Suwarman, produksi garam itu bisa menghasilkan keuntungan Rp1.100.000-Rp1.400.000 per bulan karena satu petaknya diperkirakan mampu memanen 16 kilogram garam per hari.
Meski demikian, karena pada November dan Desember diperkirakan sudah memasuki musim hujan, maka produksi garam baru akan dimulai pada Februari 2018. "Untuk tahun ini kami baru akan melakukan sosialisasi, memberikan pelatihan, serta menyiapkan sarana prasarananya," kata dia.
Ia menuturkan rencana itu menyusul keinginan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sultan HB X agar DIY bisa memproduksi garam sendiri. Keinginan Sultan itu, menurut Suwarman, cukup beralasan karena laut di DIY, khususnya di pantai Gunung Kidul memiliki kandungan garam yang tinggi.
"Air laut di Gunung Kidul memiliki kadar garam yang bagus. Tidak ada muara sungai di sepanjang pantai Gunung Kidul sehingga air lautnya jernih sehingga bagus untuk membuat garam," kata dia. ***1***
"Akan kami coba dengan teknologi geomembran karena kualitas maupun kuantitas garam yang dihasilkan bisa lebih bagus," kata Kepala Bidang Perikanan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) DIY Suwarman Partosuwiryo di Yogyakarta, Kamis.
Geomembran "High Density Polyethylene" (HDPE) merupakan lapisan kedap air yang dihamparkan pada lahan garam yang tahan air, korosi, minyak, asam, dan panas tinggi. Geomembran, menurut Suwarman, banyak digunakan di berbagai daerah penghasil garam seperti di Kabupaten Pamekasan, Jawa Timur.
Selain mampu menghasilkan garam dengan kualitas yang baik, menurut dia, penggunaan lapisan dengan geomembran lebih efisien dibandingkan dengan membuat petakan permanen dari beton karena sewaktu-waktu bisa dilipat apabila tidak digunakan.
"Kita membuat garam kan tergantung sinar matahari, sehingga kalau saat musim hujan geomembran bisa dilipat dan disimpan," kata dia.
Berdasarkan rencana yang telah disampaikan ke Gubernur DIY, produksi garam dengan geomembran akan diterapkan di pesisir pantai Kabupaten Gunung Kidul, Kulon Progo, dan Bantul. Untuk tahap awal, masing-masing kabupaten akan dibuatkan empat petak lahan garam dengan ukuran 4x6 meter per petak menggunakan tanah Sultan Ground (SG) dan Pakualaman Ground (PAG) khusus untuk di Kulon Progo.
"Karena di DIY tidak bisa mengandalkan pasang surut air laut, maka untuk pengambilan air laut sebagai bahan baku garam akan menggunakan pompa atau timba," kata dia.
Dengan anggaran Rp2.200.000 untuk pembuatan per empat petak garam, menurut Suwarman, produksi garam itu bisa menghasilkan keuntungan Rp1.100.000-Rp1.400.000 per bulan karena satu petaknya diperkirakan mampu memanen 16 kilogram garam per hari.
Meski demikian, karena pada November dan Desember diperkirakan sudah memasuki musim hujan, maka produksi garam baru akan dimulai pada Februari 2018. "Untuk tahun ini kami baru akan melakukan sosialisasi, memberikan pelatihan, serta menyiapkan sarana prasarananya," kata dia.
Ia menuturkan rencana itu menyusul keinginan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sultan HB X agar DIY bisa memproduksi garam sendiri. Keinginan Sultan itu, menurut Suwarman, cukup beralasan karena laut di DIY, khususnya di pantai Gunung Kidul memiliki kandungan garam yang tinggi.
"Air laut di Gunung Kidul memiliki kadar garam yang bagus. Tidak ada muara sungai di sepanjang pantai Gunung Kidul sehingga air lautnya jernih sehingga bagus untuk membuat garam," kata dia. ***1***