Jakarta (Antaranews Jogja) - Kementerian ESDM menilai pemasangan teknologi panel surya atap (rooftop) bisa menjadi solusi jangka panjang untuk memenuhi kebutuhan listrik di rumah-rumah.
"Hitungannya lebih hemat investasinya karena umur dari 'rooftop' yang tanpa baterai itu 'long life' bisa 20 tahunan asal dibersihkan setiap tiga bulan sekali," kata Direktur Perencanaan dan Pembangunan Infrastruktur Ditjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Noor Arifin Muhammad pada seminar tentang Pengembangan Energi Surya Atap di Jakarta, Kamis.
Noor menjelaskan biaya instalasi panel surya atap memang tidak murah, yakni sekitar Rp40 juta untuk satu rumah dengan kapasitas dua kilo Watt peak (kWp).
Namun, dengan listrik sebesar dua kWp tersebut, pengguna dapat menghidupkan alat elektronik di rumahnya sampai sore hari. Setelah itu, penggunaan listrik melalui jaringan PLN.
Dari hitungan kasar, pemanfaatan listrik dari energi matahari melalui panel surya atap bisa menghemat setengah dari rata-rata iuran listrik per bulan.
"Kami memasangnya 40 juta rupiah untuk instalasi 'rooftop'. Biaya iuran listrik misalnya sampai Rp2 juta, mungkin dengan ini bisa menghemat lebih dari setengahnya per bulan," kata Noor.
Dengan penghematan 50 persen dari iuran listrik per bulan, pengguna panel surya atap sudah bisa balik modal atas investasinya dalam waktu sekitar tiga tahun.
Menurut Noor, upaya untuk mewujudkan Gerakan Nasional Sejuta Surya Atap Menuju Gigawatt Fotovoltaik di Indonesia pada 2025 harus didukung masyarakat.
"Kami memerlukan partisipasi dari masyarakat lebih luas untuk pemanfaatan energi surya terutama 'rooftop'. Caranya adalah dengan menyadarkan masyarakat betapa panel surya mudah dipasang, sangat aplikatif dan cepat dilakukan," kata dia.
Gerakan Sejuta Surya Atap merupakan upaya Ditjen EBTKE untuk mendukung Kebijakan Energi Nasional yang menargetkan bauran energi terbarukan sebesar 23 persen pada 2025.
Dari target tersebut, proyeksi pembangkit listrik tenaga surya adalah sebesar 5.000 MW pada 2019 dan 6.400 MW pada 2025.
"Hitungannya lebih hemat investasinya karena umur dari 'rooftop' yang tanpa baterai itu 'long life' bisa 20 tahunan asal dibersihkan setiap tiga bulan sekali," kata Direktur Perencanaan dan Pembangunan Infrastruktur Ditjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Noor Arifin Muhammad pada seminar tentang Pengembangan Energi Surya Atap di Jakarta, Kamis.
Noor menjelaskan biaya instalasi panel surya atap memang tidak murah, yakni sekitar Rp40 juta untuk satu rumah dengan kapasitas dua kilo Watt peak (kWp).
Namun, dengan listrik sebesar dua kWp tersebut, pengguna dapat menghidupkan alat elektronik di rumahnya sampai sore hari. Setelah itu, penggunaan listrik melalui jaringan PLN.
Dari hitungan kasar, pemanfaatan listrik dari energi matahari melalui panel surya atap bisa menghemat setengah dari rata-rata iuran listrik per bulan.
"Kami memasangnya 40 juta rupiah untuk instalasi 'rooftop'. Biaya iuran listrik misalnya sampai Rp2 juta, mungkin dengan ini bisa menghemat lebih dari setengahnya per bulan," kata Noor.
Dengan penghematan 50 persen dari iuran listrik per bulan, pengguna panel surya atap sudah bisa balik modal atas investasinya dalam waktu sekitar tiga tahun.
Menurut Noor, upaya untuk mewujudkan Gerakan Nasional Sejuta Surya Atap Menuju Gigawatt Fotovoltaik di Indonesia pada 2025 harus didukung masyarakat.
"Kami memerlukan partisipasi dari masyarakat lebih luas untuk pemanfaatan energi surya terutama 'rooftop'. Caranya adalah dengan menyadarkan masyarakat betapa panel surya mudah dipasang, sangat aplikatif dan cepat dilakukan," kata dia.
Gerakan Sejuta Surya Atap merupakan upaya Ditjen EBTKE untuk mendukung Kebijakan Energi Nasional yang menargetkan bauran energi terbarukan sebesar 23 persen pada 2025.
Dari target tersebut, proyeksi pembangkit listrik tenaga surya adalah sebesar 5.000 MW pada 2019 dan 6.400 MW pada 2025.