Yogyakarta, (Antaranews Jogja) - Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Bambang meminta seluruh pelaku usaha perkebunan berkomitmen menjalankan amanat Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2016 dan seluruh regulasi terkait pemulihan ekosistem gambut.
"PP Nomor 57 Tahun 2016 tentang Perubahan atas PP Nomor 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut ditetapkan untuk mengakomodasi kebutuhan masyarakat agar pemanfaatan lahan gambut dikelola dengan baik," katanya di Yogyakarta, Kamis.
Pada Pertemuan Fasilitasi Dan Rekonsiliasi Pengelolaan Ekosistem Gambut di Perkebunan Kelapa Sawit Tahap Kedua bertema "Membangun Agribisnis Kelapa Sawit Berkelanjutan yang Ramah Lingkungan", Bambang mengatakan dalam PP tersebut diamanatkan kepada pelaku usaha perkebunan untuk melakukan upaya tata kelola dan pemanfaatan lahan gambut pada usaha perkebunan.
Menurut dia, kegiatan pengusahaan perkebunan kelapa sawit yang lestari dan berkelanjutan memiliki komitmen dan tanggung jawab yang besar, maka setiap pelaku usaha dalam implementasinya memiliki kewajiban dan tanggung jawab dalam pelaksanaannya.
"Oleh karena itu, saya sangat mendorong kepada seluruh pelaku usaha perkebunan untuk segera melaksanakan kebijakan tersebut dengan mengikuti petunjuk dan kewajiban yang telah ditetapkan," katanya.
Ia mengemukakan, berdasarkan data dan informasi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terdapat 385 perusahaan perkebunan yang mendapat Surat Perintah Pelaksanaan Pemulihan Ekosistem Gambut Unit dari KLHK.
Dari 385 perusahaan tersebut, sebanyak 112 perusahaan telah mengajukan dokumen rencana pemulihan, sedangkan 273 perusahaan belum mengajukan dokumen rencana pemulihan.
"Saya menyadari bahwa dalam penyusunan dokumen rencana pemulihan ekosistem gambut banyak kesulitan dan hambatan yang dihadapi oleh perusahaan perkebunan," katanya.
Meskipun demikian, perusahaan perkebunan yang mendapat surat perintah dari KLHK tetap berkomitmen menyusun dokumen Rencana Pemulihan Ekosistem Gambut sesuai format yang ditetapkan KLHK dan melaksanakan serta melaporkannya kepada KLHK.
Apabila terdapat masalah dalam penyusunan dokumen Rencana Pemulihan Ekosistem Gambut, perusahaan perkebunan dapat meminta saran dan pertimbangan kepada pemerintah melalui Tim Asistensi Pemulihan Ekosistem Lahan Gambut untuk Budidaya Perkebunan yang dibentuk oleh Direktur Jenderal (Dirjen) Perkebunan.
"Dalam pelaksanaannya, kita akan bersama-sama memberikan pendampingan dan asistensi teknis serta kesempatan kepada para pelaku usaha untuk menyampaikan berbagai masukan dan fakta terkait kegiatan tersebut," katanya.
Menurut dia, salah satu "output" kegiatan pemulihan ekosistem gambut yang dilakukan pemerintah bersama seluruh pelaku usaha perkebunan adalah untuk menurunkan titik panas (hotspot) sehingga tidak terjadi kebakaran lahan.
"Pertemuan di Yogyakarta ini merupakan tindak lanjut dari pertemuan pertama yang dilaksanakan di Bogor pada 26 September 2018. Pertemuan ini bertujuan melaksanakan rekonsiliasi antara pemerintah dan pelaku usaha perkebunan dalam pengelolaan ekosistem lahan gambut di lahan perkebunan," katanya.
Selain itu untuk memfasilitasi perusahaan perkebunan kelapa sawit dalam menyusun dokumen rencana pemulihan ekosistem gambut sesuai dengan format yang ditetapkan KLHK.
Ia mengatakan, dengan dilaksanakannya pertemuan rekonsiliasi pengelolaan ekosistem gambut di perkebunan kelapa sawit tahap kedua ini menunjukkan bahwa Direktorat Jenderal Perkebunan berkomitmen dan bersungguh-sungguh dalam mengawal dan mendorong pelaksanaan pemulihan ekosistem pengelolaan lahan gambut di perkebunan agar berjalan dengan baik dan sesuai dengan regulasi yang ada.
"Saya berharap pelaku usaha perkebunan memberikan komitmen dan respons positif terhadap regulasi terkait agribisnis kelapa sawit yang telah diterbitkan pemerintah, agar agribisnis kelapa sawit yang kita kelola ini berjalan dengan baik dan berkelanjutan," kata Bambang.
Selain dari unsur pemerintah, pertemuan itu juga dihadiri perwakilan dari perusahaan perkebunan kelapa sawit, Asosiasi Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat, dan Asosiasi Petani Kelapa Sawit Perkebunan Inti Rakyat.
"PP Nomor 57 Tahun 2016 tentang Perubahan atas PP Nomor 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut ditetapkan untuk mengakomodasi kebutuhan masyarakat agar pemanfaatan lahan gambut dikelola dengan baik," katanya di Yogyakarta, Kamis.
Pada Pertemuan Fasilitasi Dan Rekonsiliasi Pengelolaan Ekosistem Gambut di Perkebunan Kelapa Sawit Tahap Kedua bertema "Membangun Agribisnis Kelapa Sawit Berkelanjutan yang Ramah Lingkungan", Bambang mengatakan dalam PP tersebut diamanatkan kepada pelaku usaha perkebunan untuk melakukan upaya tata kelola dan pemanfaatan lahan gambut pada usaha perkebunan.
Menurut dia, kegiatan pengusahaan perkebunan kelapa sawit yang lestari dan berkelanjutan memiliki komitmen dan tanggung jawab yang besar, maka setiap pelaku usaha dalam implementasinya memiliki kewajiban dan tanggung jawab dalam pelaksanaannya.
"Oleh karena itu, saya sangat mendorong kepada seluruh pelaku usaha perkebunan untuk segera melaksanakan kebijakan tersebut dengan mengikuti petunjuk dan kewajiban yang telah ditetapkan," katanya.
Ia mengemukakan, berdasarkan data dan informasi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terdapat 385 perusahaan perkebunan yang mendapat Surat Perintah Pelaksanaan Pemulihan Ekosistem Gambut Unit dari KLHK.
Dari 385 perusahaan tersebut, sebanyak 112 perusahaan telah mengajukan dokumen rencana pemulihan, sedangkan 273 perusahaan belum mengajukan dokumen rencana pemulihan.
"Saya menyadari bahwa dalam penyusunan dokumen rencana pemulihan ekosistem gambut banyak kesulitan dan hambatan yang dihadapi oleh perusahaan perkebunan," katanya.
Meskipun demikian, perusahaan perkebunan yang mendapat surat perintah dari KLHK tetap berkomitmen menyusun dokumen Rencana Pemulihan Ekosistem Gambut sesuai format yang ditetapkan KLHK dan melaksanakan serta melaporkannya kepada KLHK.
Apabila terdapat masalah dalam penyusunan dokumen Rencana Pemulihan Ekosistem Gambut, perusahaan perkebunan dapat meminta saran dan pertimbangan kepada pemerintah melalui Tim Asistensi Pemulihan Ekosistem Lahan Gambut untuk Budidaya Perkebunan yang dibentuk oleh Direktur Jenderal (Dirjen) Perkebunan.
"Dalam pelaksanaannya, kita akan bersama-sama memberikan pendampingan dan asistensi teknis serta kesempatan kepada para pelaku usaha untuk menyampaikan berbagai masukan dan fakta terkait kegiatan tersebut," katanya.
Menurut dia, salah satu "output" kegiatan pemulihan ekosistem gambut yang dilakukan pemerintah bersama seluruh pelaku usaha perkebunan adalah untuk menurunkan titik panas (hotspot) sehingga tidak terjadi kebakaran lahan.
"Pertemuan di Yogyakarta ini merupakan tindak lanjut dari pertemuan pertama yang dilaksanakan di Bogor pada 26 September 2018. Pertemuan ini bertujuan melaksanakan rekonsiliasi antara pemerintah dan pelaku usaha perkebunan dalam pengelolaan ekosistem lahan gambut di lahan perkebunan," katanya.
Selain itu untuk memfasilitasi perusahaan perkebunan kelapa sawit dalam menyusun dokumen rencana pemulihan ekosistem gambut sesuai dengan format yang ditetapkan KLHK.
Ia mengatakan, dengan dilaksanakannya pertemuan rekonsiliasi pengelolaan ekosistem gambut di perkebunan kelapa sawit tahap kedua ini menunjukkan bahwa Direktorat Jenderal Perkebunan berkomitmen dan bersungguh-sungguh dalam mengawal dan mendorong pelaksanaan pemulihan ekosistem pengelolaan lahan gambut di perkebunan agar berjalan dengan baik dan sesuai dengan regulasi yang ada.
"Saya berharap pelaku usaha perkebunan memberikan komitmen dan respons positif terhadap regulasi terkait agribisnis kelapa sawit yang telah diterbitkan pemerintah, agar agribisnis kelapa sawit yang kita kelola ini berjalan dengan baik dan berkelanjutan," kata Bambang.
Selain dari unsur pemerintah, pertemuan itu juga dihadiri perwakilan dari perusahaan perkebunan kelapa sawit, Asosiasi Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat, dan Asosiasi Petani Kelapa Sawit Perkebunan Inti Rakyat.