Jakarta (ANTARA) - Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) mengingatkan pentingnya revisi Undang Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang sudah tidak lagi memadai dengan perkembangan zaman di era digital.
"Pendekatan lintas sektoral dan kewilayahan jelas tidak lagi memadai dalam melindungi kepentingan konsumen," kata Ketua BPKN Ardiansyah Parman di Jakarta, Sabtu.
Ardiansyah mengatakan revisi UU itu penting agar mampu mengakomodasi sebesar-besarnya kebutuhan perlindungan konsumen ke masa depan.
"Pengaturan perlindungan konsumen yang sektoral saat ini cenderung gugup dan gagap ketika harus menyikapi berbagai insiden perlindungan konsumen di era digital," katanya.
Revisi tersebut, tambah dia, juga dapat membangun hubungan saling percaya antara pelaku usaha dan konsumen secara efektif dan berkeadilan.
"Dinamika transaksi masa depan harus berparadigma 'consumer-centric', karena konsumen yang sudah berdaya, bisa menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi," ujar Ardiansyah.
Menurut dia, saat ini kerawanan terhadap perlindungan konsumen masih tetap ada, hingga triwulan I-2019, yang terjadi di berbagai sektor pelayanan.
"Berbagai insiden terkait transaksi konsumen masih terjadi di antaranya masalah perumahan, sektor kesehatan, transportasi, fintech, dan e-commerce," katanya.
Melalui revisi UU Perlindungan Konsumen, ia juga mengingatkan pentingnya percaya diri dalam bertransaksi yang merupakan elemen penting dalam mendasari transaksi antar konsumen, pelaku usaha dan pemerintah.
"Tanpa 'confidence to transact' maka jelas terjadi disrupsi pasar yang merugikan pertumbuhan perekonomian nasional," ujar Ardiansyah.
Hal itu karena sektor konsumsi menjadi pilar penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional hingga porsinya mencapai kisaran 60 persen terhadap Produk Domestik Bruto ( PDB).
"Pendekatan lintas sektoral dan kewilayahan jelas tidak lagi memadai dalam melindungi kepentingan konsumen," kata Ketua BPKN Ardiansyah Parman di Jakarta, Sabtu.
Ardiansyah mengatakan revisi UU itu penting agar mampu mengakomodasi sebesar-besarnya kebutuhan perlindungan konsumen ke masa depan.
"Pengaturan perlindungan konsumen yang sektoral saat ini cenderung gugup dan gagap ketika harus menyikapi berbagai insiden perlindungan konsumen di era digital," katanya.
Revisi tersebut, tambah dia, juga dapat membangun hubungan saling percaya antara pelaku usaha dan konsumen secara efektif dan berkeadilan.
"Dinamika transaksi masa depan harus berparadigma 'consumer-centric', karena konsumen yang sudah berdaya, bisa menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi," ujar Ardiansyah.
Menurut dia, saat ini kerawanan terhadap perlindungan konsumen masih tetap ada, hingga triwulan I-2019, yang terjadi di berbagai sektor pelayanan.
"Berbagai insiden terkait transaksi konsumen masih terjadi di antaranya masalah perumahan, sektor kesehatan, transportasi, fintech, dan e-commerce," katanya.
Melalui revisi UU Perlindungan Konsumen, ia juga mengingatkan pentingnya percaya diri dalam bertransaksi yang merupakan elemen penting dalam mendasari transaksi antar konsumen, pelaku usaha dan pemerintah.
"Tanpa 'confidence to transact' maka jelas terjadi disrupsi pasar yang merugikan pertumbuhan perekonomian nasional," ujar Ardiansyah.
Hal itu karena sektor konsumsi menjadi pilar penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional hingga porsinya mencapai kisaran 60 persen terhadap Produk Domestik Bruto ( PDB).