Yogyakarta (ANTARA) - Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir berharap program deradikalisasi dapat diganti dengan gerakan moderasi untuk menghadapi segala bentuk radikalisme di Indonesia dengan cara yang moderat.
"Saya menawarkan mari kita akhiri deradikalisasi dan kita ganti dengan moderasi," kata Haedar saat menyampaikan pidato ilimah dalam acara pengukuhannya sebagai Guru Besar Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) di Sportorium UMY, Kamis.
Dalam pidato berjudul "Moderasi Indonesia dan Keindonesiaan Perspektif Sosiologi" itu, Haedar mengatakan bahwa reorientasi atau revisi konsep dan kebijakan deradikalisasi sangat penting dan relevan agar tidak muncul salah pandang dan salah sasaran dalam melawan radikalisme.
Reorientasi itu, menurut dia, tidak lantas bermakna membenarkan dan menutup mata adanya radikalisme keagamaan terutama yang bersifat ekstrem dan membenarkan kekerasan seperti pada kasus terorisme atas nama agama.
Masalah radikalisme, menurut dia, bukan persoalan sederhana dalam aspek apapun di berbagai negara, sehingga memerlukan pemahaman yang luas dan mendalam.
"Hal itu menjadi keliru manakala memaknai radikal dan radikalisme sebagai identik dengan kekerasan lebih-lebih sama dengan terorisme. Karena pada dasarnya sejarah menunjukkan bahwa radikalisme terjadi di banyak aspek dan semua kelompok sosial," kata Haedar.
Indonesia setelah reformasi, menurut dia, sesungguhnya mengalami radikalisasi dan terpapar radikalisme dalam kuasa ideologi pada sistem liberalisme dan kapitalisme baru, lebih dari sekedar radikalisme agama dalam kehidupan kebangsaan.
Radikalisme ideologi, politik, ekonomi, dan budaya, kata dia, sama bermasalahnya dengan radikalisme atau ekstremisme beragama bagi masa depan Indonesia.
Oleh sebab itu, katanya, menghadapi radikalisme, ekstremisme, serta terorisme tidak dapat dilakukan secara linier, instan, dan bias dalam strategi deardikalisasi yang boleh jadi sama radikalnya.
"Radikal tidak dapat dilawan dengan radikal. Seperti dalam strategi deradikalisasi versus radikalisasi serta deradikalisme versus radikalisme jika Indonesia ingin mengatasi radikalisme dalam berbagai aspek kehidupannya, termasuk dalam menghadapi radikalisme agama," kata dia.
Moderasi, kata dia, dapat menjadi alternatif dari deradikalisasi agar sejalan dengan Pancasila sebagai ideologi tengah dan karakter bangsa Indonesia yang moderat untuk menjadi rujukan strategi dalam menghadapi radikalisme di Indonesia.
Selain memiliki penjelasan filosofis mendalam, konsep moderasi, kata dia, juga berasal dari penggalan ayat dalam Al-Quran, yakni ummatan wasaan (ummat tengahan).
"Fakta bahwa moderasi sebagai sebuah konsep ditemukan dalam agama dan tradisi lain, membenarkan gagasan bahwa moderasi sebenarnya merupakan sebuah gagasan universal," kata Haedar.
"Saya menawarkan mari kita akhiri deradikalisasi dan kita ganti dengan moderasi," kata Haedar saat menyampaikan pidato ilimah dalam acara pengukuhannya sebagai Guru Besar Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) di Sportorium UMY, Kamis.
Dalam pidato berjudul "Moderasi Indonesia dan Keindonesiaan Perspektif Sosiologi" itu, Haedar mengatakan bahwa reorientasi atau revisi konsep dan kebijakan deradikalisasi sangat penting dan relevan agar tidak muncul salah pandang dan salah sasaran dalam melawan radikalisme.
Reorientasi itu, menurut dia, tidak lantas bermakna membenarkan dan menutup mata adanya radikalisme keagamaan terutama yang bersifat ekstrem dan membenarkan kekerasan seperti pada kasus terorisme atas nama agama.
Masalah radikalisme, menurut dia, bukan persoalan sederhana dalam aspek apapun di berbagai negara, sehingga memerlukan pemahaman yang luas dan mendalam.
"Hal itu menjadi keliru manakala memaknai radikal dan radikalisme sebagai identik dengan kekerasan lebih-lebih sama dengan terorisme. Karena pada dasarnya sejarah menunjukkan bahwa radikalisme terjadi di banyak aspek dan semua kelompok sosial," kata Haedar.
Indonesia setelah reformasi, menurut dia, sesungguhnya mengalami radikalisasi dan terpapar radikalisme dalam kuasa ideologi pada sistem liberalisme dan kapitalisme baru, lebih dari sekedar radikalisme agama dalam kehidupan kebangsaan.
Radikalisme ideologi, politik, ekonomi, dan budaya, kata dia, sama bermasalahnya dengan radikalisme atau ekstremisme beragama bagi masa depan Indonesia.
Oleh sebab itu, katanya, menghadapi radikalisme, ekstremisme, serta terorisme tidak dapat dilakukan secara linier, instan, dan bias dalam strategi deardikalisasi yang boleh jadi sama radikalnya.
"Radikal tidak dapat dilawan dengan radikal. Seperti dalam strategi deradikalisasi versus radikalisasi serta deradikalisme versus radikalisme jika Indonesia ingin mengatasi radikalisme dalam berbagai aspek kehidupannya, termasuk dalam menghadapi radikalisme agama," kata dia.
Moderasi, kata dia, dapat menjadi alternatif dari deradikalisasi agar sejalan dengan Pancasila sebagai ideologi tengah dan karakter bangsa Indonesia yang moderat untuk menjadi rujukan strategi dalam menghadapi radikalisme di Indonesia.
Selain memiliki penjelasan filosofis mendalam, konsep moderasi, kata dia, juga berasal dari penggalan ayat dalam Al-Quran, yakni ummatan wasaan (ummat tengahan).
"Fakta bahwa moderasi sebagai sebuah konsep ditemukan dalam agama dan tradisi lain, membenarkan gagasan bahwa moderasi sebenarnya merupakan sebuah gagasan universal," kata Haedar.