Jakarta (ANTARA) - Pulau Sumba punya tempat yang istimewa di hati sutradara Riri Riza dan produser Mira Lesmana. 

Setelah Miles Films membuat "Pendekar Tongkat Emas" (2014), pulau yang jadi latar belakang film silat ini kembali disuguhkan lewat "Humba Dreams" yang tayang eksklusif di Netflix untuk Asia Tenggara mulai 9 Juli 2020.

Rupanya, ide membuat "Humba Dreams" memang tumbuh sejak mereka berkenalan dengan pulau Sumba untuk mencari lokasi pengambilan gambar "Pendekar Tongkat Emas".

Terpukau atas keindahan lanskap alam Sumba Barat dan Sumba Timur yang berbeda, Riri dan Ifa Isfansyah (sutradara "Pendekar Tongkat Emas") kala itu sudah mendapat ilham untuk kelak membuat film dengan latar belakang pulau cantik itu. Jeda pengambilan gambar dimanfaatkan Riri dan Mira untuk mengelilingi Waingapu, di situ Riri pertama kali melihat tempat mencuci foto analog yang sudah langka di kota-kota besar.
  Humba Dreams (HO/Netflix)

"Riri bilang, 'ini menarik banget, masih ada tempat cuci foto di kota ini'. Itu (ide) disimpan," tutur Mira dalam bincang-bincang dengan media secara daring, Jumat.



Mereka kemudian disibukkan dengan film lain seperti "Ada Apa Dengan Cinta? 2" dan "Athirah". Setiap kali bekerja keras mengerjakan suatu proyek yang menguras tenaga, Mira dan Riri akan rihat untuk mencari cerita lain yang menarik di tempat yang mereka sukai. Sumba.

"Saya bilang ke Riri, kita harus bikin lagi film seperti yang biasanya kita bikin, kayak 'Atambua 39° Celsius'."

Riri mengusulkan untuk kembali lagi ke Sumba.
 

Mencari jawaban

Film "Humba Dreams" bercerita tentang Martin (J.S Khairen), seorang mahasiswa sekolah film di Jakarta yang sedang gelisah dengan dirinya. Mendadak ia diminta pulang ke kampungnya di Sumba untuk sebuah tugas keluarga yang tak mudah.

Perjalanan mempertemukannya dengan Anna (Ully Triani), perempuan Sumba yang kesepian dan tengah mencari keberadaan suaminya. Sensualitas Anna menambah kegelisahannya. Berbagai pertanyaan Martin tentang Humba dan dirinya perlahan menemukan jawaban.

"Humba Dreams" diceritakan dari sudut pandang seorang anak muda yang mengantar kita ke sebuah kenangan romantik terhadap hal-hal yang masih dapat kita sentuh, seperti film seluloid, buku, catatan lama, atau foto-foto.

Tokoh utamanya diperankan Jombang Santani Khairen. Riri bertemu dengan Khairen saat menjadi juri festival film pendek. Khairen salah satu pembuat film pendek yang juga dibintangi sendiri.

Kata Riri, Khairen adalah kandidat yang tepat sebagai Martin.

"Biasanya saya percaya bahwa seseorang harus memiliki sensibility dan pengalaman yang lebih personal tentang apa yang akan dia jalani di film, itu saya temukan di diri J.S. Khairen."
 



Khairen dan Ully Triani, pemeran Ana, lalu "dileburkan" ke dalam budaya Sumba agar bisa semakin menguasai karakter sebagai anak Sumba.

Selain mereka, karakter lainnya diperankan oleh masyarakat setempat. Sebetulnya Mira sempat mempertimbangkan untuk melibatkan 100 persen bakat dari Sumba dalam jajaran aktor dan aktris seperti film "Atambua 39° Celsius".

Namun tuntutan peran yang lebih kompleks dan waktu yang terbatas membuat keputusan itu urung dilakukan.

"Kalau ada ruang berlatih, kami yakin ada banyak bakat dari daerah setempat untuk kami ajak, tapi ada peran-peran yang butuh kematangan seorang aktor."
 

Banyak isu yang diangkat dalam "Humba Dreams". Bukan cuma soal Martin yang bolak-balik mencari cara memproses rol film peninggalan ayahnya di tempat dengan fasilitas terbatas, jauh berbeda dari tempatnya kuliah di Jakarta.

Penonton juga diajak melihat permasalahan yang dialami masyarakat Sumba, persoalan yang dihadapi para buruh migran di sana.

Riri dan Mira melakukan riset ke beberapa lembaga swadaya masyarakat sebelum memutuskan untuk mengangkat permasalahan buruh migran. Banyak orang Sumba menjadi buruh migran dengan dokumen tidak lengkap karena menganut Marapu, agama yang tak diakui negara. Dokumen yang tak lengkap membuat mereka mudah dimanipulasi dan diselundupkan.

Penganut Marapu melakukan berbagai upacara keagamaan, termasuk tradisi upacara kematian yang melibatkan penyembelihan hewan. Hal-hal seperti ini juga bakal ditemui dalam "Humba Dreams".

Penonton bisa mengintip secuplik aktivitas masyarakat di pulau yang beberapa tahun terakhir semakin populer jadi tujuan wisata.
 

Tak diputar di bioskop

Film yang memenangi CJ Entertainment Award di Asian Project Market (APM), Busan International Film Festival pertama kali diputar di layar lebar untuk World Premiere di Shanghai International Film Festival pada Juni 2019.



Setelah itu, "Humba Dreams" diputar keliling di lima kota besar Indonesia bersama komunitas-komunitas film.

Film terbaik untuk kategori Film Independen Non-Bioskop Reguler Terpilih dalam Piala Maya 2019 tadinya rencana dirilis di layar terbatas jaringan bioskop nasional. Rencana itu buyar akibat pandemi COVID-19. Tapi, "Humba Dreams" menemukan jalan dengan menjadi salah satu konten untuk Netflix Asia Tenggara.

Rencana awal untuk menayangkan "Humba Dreams" di bioskop komersil betul-betul dibatalkan.
 

"Kita tahu persis bisa gapai seberapa banyak penonton dengan film serupa ini," kata Mira, menambahkan "Humba Dreams" adalah film spesifik yang tak bisa dirilis luas seperti film komersil lain.

Tak banyak dialog dalam "Humba Dreams", tapi keheningan itu menurut Mira bisa membuat penonton lebih "mendengar" dari gerak-gerik aktor dan bahasa visual yang ditampilkan.

Keputusan untuk melewati bioskop dan langsung terjun ke platform digital bisa saja menarik perhatian penonton yang penasaran, juga mereka yang memang menyukai film-film seperti ini.

"Kami memutuskan ini platform terbaik untuk mencapai audiens," kata Mira.

Tidak menutup kemungkinan, "Humba Dreams" akan kembali berkeliling mendatangi komunitas-komunitas film di mana penonton bisa terlibat dalam diskusi seusai pemutaran.

Miles Films telah mampir ke Belitung lewat "Laskar Pelangi", kemudian menjelajahi Timor lewat "Atambua 39° Celsius" lalu Sulawesi lewat "Athirah" dan Sumba lewat "Pendekar Tongkat Emas" serta "Humba Dreams".

Ke depannya, Mira berharap bisa kembali berinteraksi dengan anak-anak muda di Sumba lewat lokakarya film sehingga kelak akan ada banyak cerita tentang Sumba dari kacamata mereka sendiri.
 

Pewarta : Nanien Yuniar
Editor : Bambang Sutopo Hadi
Copyright © ANTARA 2024