Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan menyoroti kesiapan berbagai aspek stabilitas ekonomi guna menghadapi usulan digitalisasi ekonomi termasuk dalam rencana penerbitan rupiah digital seperti dalam konsep Central Bank Digital Currency (CBDC).
Heri Gunawan dalam rilis di Jakarta, Rabu, meminta agar risiko gagasan tersebut dianalisis lebih mendalam terhadap stabilitas ekonomi nasional.
"Karena mungkin Undang-Undang Mata Uang tidak mengatur terkait digital currency, maka akhirnya muncullah gagasan CBDC. Saya pikir, hal ini juga merupakan risiko baru terhadap digitalisasi ekonomi dan stabilitas keuangan yang akan terjadi," ujarnya.
Ia mengingatkan bahwa saat ini sedang marak aset digital seperti cryptocurrency atau uang kripto, yang juga berpotensi menggantikan uang konvensional sebagai alat pembayaran yang sah.
Sementara itu, Anggota Komisi XI DPR RI Muhidin Mohamad Said menegaskan Bank Indonesia perlu berperan maksimal dalam pengawasan perdagangan aset digital.
Pengawasan itu, ujar Muhidin Mohamad Said, diperlukan untuk mengantisipasi munculnya masalah ilegal di tengah tren kripto yang digandrungi masyarakat Indonesia saat ini.
"Perkembangan kripto sangat luar biasa dan animo masyarakat tidak bisa dibendung lagi. Jika tidak cepat dilakukan antisipasi, ditakutkan munculnya masalah ilegal yang selama ini terjadi dan merugikan masyarakat,” ujarnya.
Ia mengungkapkan, berdasarkan catatan Kementerian Perdagangan, pada tahun 2021 ini telah tercatat 7,4 juta penduduk Indonesia yang ikut serta dalam cryptocurrency dengan nilai transaksi sebesar Rp478,5 trilliun.
Menurut dia, jumlah tersebut merupakan perkembangan yang luar biasa mengingat bila dibandingkan dengan tahun 2020, transaksi dalam cryptocurrency tersebut hanya Rp65 triliun.
Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) saat ini sedang mengkaji dua opsi penyebaran rupiah digital dalam persiapan penerapan mata uang digital bank sentral alias Central Bank Digital Currency (CBDC) di Tanah Air.
"Ada dua pendekatan yang sedang didalami BI yaitu secara langsung atau one tier dan tidak langsung atau two tier," kata Kepala Departemen Kebijakan Makroprudensial BI Juda Agung dalam Fit and Proper Test Calon Deputi Gubernur BI bersama Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat di Jakarta, Selasa (30/11).
Ia menjelaskan pendekatan secara langsung artinya masyarakat baik itu rumah tangga maupun korporasi bisa mendapatkan token rupiah digital secara langsung dari BI.
Sementara pendekatan secara tidak langsung dilakukan melalui dua tahapan, yakni bank sentral mengedarkan rupiah digital melalui perbankan, barulah masyarakat bisa membelinya ke perbankan.
"Yang kedua ini menurut hemat kami lebih tepat karena ini seperti peredaran uang kertas dan uang logam seperti saat ini," katanya.
Dirinya berpendapat penerbitan rupiah digital saat ini menjadi penting untuk menjaga kedaulatan mata uang sebuah negara, semakin banyaknya transaksi digital, menjaga efektivitas kebijakan moneter bank sentral, menjaga stabilitas sistem keuangan, dan mendorong inklusi keuangan.
Heri Gunawan dalam rilis di Jakarta, Rabu, meminta agar risiko gagasan tersebut dianalisis lebih mendalam terhadap stabilitas ekonomi nasional.
"Karena mungkin Undang-Undang Mata Uang tidak mengatur terkait digital currency, maka akhirnya muncullah gagasan CBDC. Saya pikir, hal ini juga merupakan risiko baru terhadap digitalisasi ekonomi dan stabilitas keuangan yang akan terjadi," ujarnya.
Ia mengingatkan bahwa saat ini sedang marak aset digital seperti cryptocurrency atau uang kripto, yang juga berpotensi menggantikan uang konvensional sebagai alat pembayaran yang sah.
Sementara itu, Anggota Komisi XI DPR RI Muhidin Mohamad Said menegaskan Bank Indonesia perlu berperan maksimal dalam pengawasan perdagangan aset digital.
Pengawasan itu, ujar Muhidin Mohamad Said, diperlukan untuk mengantisipasi munculnya masalah ilegal di tengah tren kripto yang digandrungi masyarakat Indonesia saat ini.
"Perkembangan kripto sangat luar biasa dan animo masyarakat tidak bisa dibendung lagi. Jika tidak cepat dilakukan antisipasi, ditakutkan munculnya masalah ilegal yang selama ini terjadi dan merugikan masyarakat,” ujarnya.
Ia mengungkapkan, berdasarkan catatan Kementerian Perdagangan, pada tahun 2021 ini telah tercatat 7,4 juta penduduk Indonesia yang ikut serta dalam cryptocurrency dengan nilai transaksi sebesar Rp478,5 trilliun.
Menurut dia, jumlah tersebut merupakan perkembangan yang luar biasa mengingat bila dibandingkan dengan tahun 2020, transaksi dalam cryptocurrency tersebut hanya Rp65 triliun.
Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) saat ini sedang mengkaji dua opsi penyebaran rupiah digital dalam persiapan penerapan mata uang digital bank sentral alias Central Bank Digital Currency (CBDC) di Tanah Air.
"Ada dua pendekatan yang sedang didalami BI yaitu secara langsung atau one tier dan tidak langsung atau two tier," kata Kepala Departemen Kebijakan Makroprudensial BI Juda Agung dalam Fit and Proper Test Calon Deputi Gubernur BI bersama Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat di Jakarta, Selasa (30/11).
Ia menjelaskan pendekatan secara langsung artinya masyarakat baik itu rumah tangga maupun korporasi bisa mendapatkan token rupiah digital secara langsung dari BI.
Sementara pendekatan secara tidak langsung dilakukan melalui dua tahapan, yakni bank sentral mengedarkan rupiah digital melalui perbankan, barulah masyarakat bisa membelinya ke perbankan.
"Yang kedua ini menurut hemat kami lebih tepat karena ini seperti peredaran uang kertas dan uang logam seperti saat ini," katanya.
Dirinya berpendapat penerbitan rupiah digital saat ini menjadi penting untuk menjaga kedaulatan mata uang sebuah negara, semakin banyaknya transaksi digital, menjaga efektivitas kebijakan moneter bank sentral, menjaga stabilitas sistem keuangan, dan mendorong inklusi keuangan.