Jakarta (ANTARA) - Sutradara Kamila Andini mengungkapkan dirinya ingin menampilkan karakter Nana dalam film barunya sebagai sosok perempuan biasa yang menghadapi konflik domestik di tengah dinamika perubahan zaman. 

“Saya waktu itu bilang sama teh Jais bahwa saya ingin melihat ‘Nana’ sebagai seorang perempuan saja. Ya, perempuan, seperti kita melihat nenek, ibu, dan sahabat kita, yang pernah melakukan sesuatu yang benar dan salah, tapi kita sayang sama dia apa adanya,” kata Kamila saat jumpa pers di Jakarta, Jumat.

Bagi Kamila, film biografis tidak selamanya harus menyoroti sisi-sisi kepahlawanan pada tokoh besar yang kerap diagung-agungkan. Ia juga menilai bahwa saat ini film periode yang ditampilkan melalui kacamata personal jumlahnya masih sedikit. Padahal, lanjutnya, film seperti itu dapat berelasi lebih akrab dengan pengalaman penonton.

“Buat saya, film bukan itu tujuannya. Bukan sedang membesar-besarkan soal orang, tapi kita sedang berefleksi. Kita melihat dia sebagai manusia,” ujarnya.



Film “Nana” atau “Before, Now & Then” merupakan karya terbaru Kamila yang akan ditayangkan secara perdana dalam gelaran Festival Film Berlin pada Februari. Cerita dalam film ini terinspirasi dari satu bab novel “Jais Darga Namaku” yang ditulis Ahda Imran.

Film tersebut mengikuti kisah hidup seorang perempuan di era 1960-an bernama Raden Nana Sunani (diperankan oleh Happy Salma).

Karakter Nana diceritakan melarikan diri dari gerombolan yang ingin menjadikannya istri serta membuatnya kehilangan ayah dan anak. Kemudian ia menjalani hidup baru bersama seorang menak Sunda hingga bersahabat dengan salah satu perempuan simpanan suaminya.

Walau sebelumnya pernah menggarap film pendek “Pulang” atau “Back Home” dengan latar lampau, Kamila mengakui “Nana” menjadi penanda film panjang periode pertama yang ia buat.

Ia mengatakan film “Nana” sebetulnya menampilkan konteks sejarah dengan porsi yang kecil. Meski begitu, menurutnya, film ini mengajak penonton untuk merefleksikan dan mempertanyakan kembali posisi perempuan yang hidup di tengah perubahan sejarah atau zaman.

“Saya tidak sedang membuat mesin waktu atau mereplika zaman itu dalam sebuah film. Sebetulnya, saya sedang membangun jembatan bagaimana pemikiran saya sebagai perempuan yang hidup di masa saat ini melihat atau berefleksi kepada zaman itu,” terang Kamila.

Melalui kacamata karakter Nana, lanjut Kamila, penonton dapat merasakan pergerakan dan perubahan zaman yang terjadi secara cepat di Indonesia, mulai dari masa awal pasca-kemerdekaan, peristiwa DI/TII, hingga masa pergantian presiden pada masa tersebut.

“Ada banyak sekali perubahan, bagaimana perempuan itu juga harus terus beradaptasi dengan perubahan ini di wilayah domestik sekalipun. Buat saya, ini sangat menarik meskipun dilihat dari kacamata yang sangat intim di dalam rumah tangga dan pernikahan di wilayah domestik,” katanya.




 

Pewarta : Rizka Khaerunnisa
Editor : Herry Soebanto
Copyright © ANTARA 2024